Sunday, January 29, 2017

owner of WTC sue airlines due to nine eleven tragedy

Source : 
https://therealdeal.com/2015/09/18/airlines-may-yet-have-to-pay-silverstein-3-5b-for-wtc/

Airlines may have to pay Silverstein $3.5B for WTC after all
Second Circuit reverses previous action limiting possible compensation to $2.8B
September 18, 2015 10:39AM

« PREVIOUS NEXT »
A rendering of 2 World Trade Center and Larry Silverstein (Inset)
A rendering of the new World Trade Center (inset: Larry Silverstein)
The 14th anniversary of Sept. 11 is just behind us, but much still lies ahead in Larry Silverstein’s legal fight for compensation.A three-judge Second Circuit Court panel reversed a previous judgement that would have limited Silverstein’s possible reward to $2.8 billion, rather than the $3.5 billion he sought in his action against U.S. Airways.

The panel ruled that a lower court had miscalculated the decline in the World Trade Center’s value, and had used the wrong interest rate, the federal funds rate rather than the state rate. The court also refused to revive Silverstein’s claims against United Airlines, which co-operated the security checkpoint through which the 9/11 terrorists passed, Courthouse News reported.

Silverstein purchased the leases on the World Trade Center just six weeks before the attacks. He’s already received $4.6 billion in compensation from insurance companies, back in 2007.
Last week, The Real Deal looked at the extent to which the Financial District has recovered from the disaster. [Courthouse News] – Ariel Stulberg

source:
http://www.dailymail.co.uk/news/article-2365931/Larry-Silverstein-World-Trade-Center-owner-trying-sue-airlines-billions-9-11-attacks.html

Owner of World Trade Center is trying to sue airlines for BILLIONS for 9/11 attacks... even though he was already paid $5billion in insurance

Larry Silverstein, the owner of the World Trade Center, is seeking $3.5billion from United Airlines, US Airways and American Airlines. Silverstein argues that the 9-11 attacks cost his property group more than $7billion

The new One World Trade Center alone cost $3.9billion
By Daily Mail Reporter and Associated Press

PUBLISHED: 17:24 GMT, 16 July 2013 | UPDATED: 17:25 GMT, 16 July 2013

The owner of the World Trade Center is arguing in federal court that the airlines who planes were flown into the Twin Towers on September 11, 2001 should pay him billions in compensation.
Larry Silverstein is attempting to collect $3.5billion from United Airlines, US Airways and American Airlines - on top of nearly $5billion he has already received from his insurance company.

U.S. District Judge Alvin K. Hellerstein in Manhattan is listening to arguments on both sides before he will rule on whether Silverstein's World Trade Center Properties can file a lawsuit against the airlines.

He is expected to rule from the bench as soon as several witnesses conclude testifying in the trial expected to last about three days. Arguments began on Monday.

Lawyers for the owners argued during opening statements that the money they already have received does not preclude them from separately pursuing damages against aviation companies.
Attorney Roger Podesta, who represents the airlines, said the $3.5 billion being sought for destruction of the twin towers and a third skyscraper would amount to double compensation.
He said an $8.5 billion total recovery would be more than 2 1/2 times the fair value of the buildings that fell.

Attorney Richard Williamson, representing World Trade Center Properties, said accounting and construction experts had assessed damages of at least $7.2 billion from the September 11, 2001 attacks.

One World Trade Center, which topped out earlier this year and became the tallest building in the western hemisphere, cost an estimated $3.9billion.
It is slated to open in early 2014.

'This did not just come out of a hat.' he said of the damage figures. 'You can't just say, "I have economic loss."'

The trade center owners say it has cost more than $7 billion to replace the twin towers and more than $1 billion to replace the third trade center building that fell.

The trial's first witness was Michael S. Beach, a claims expert hired by the aviation companies who spent hours explaining to the court how the loss was calculated.

In court papers, both sides have accused the other of unfairly characterizing their claims.
Should Hellerstein decide the claims do not correspond with each other, Silverstein would then have to prove liability in a separate trial.

Hellerstein, a Bronx native and U.S. Army veteran nominated to the bench by President Bill Clinton, has presided over a sprawling portfolio of 9/11-related cases.


In January, Hellerstein will hear a trial pitting Cantor Fitzgerald, which lost 658 employees in the attacks, against American Airlines. The financial services firm sued the airline over lost business and the destruction of its offices in the World Trade Center.

Tuesday, January 24, 2017

evoucher indonesia

http://youngsters.id/technopreneur/danny-baskara-membangun-harapan-pada-e-commerce

Danny Baskara : Membangun Harapan Pada e-Commerce

YOUNGSTERS.id - Bisnis e-commerce kini memiliki harapan untuk berkembang pesat dan meraup keuntungan. Harapan itu dibangun oleh para penggiat e-vouncher bertahun-tahun. Salah satunya adalah Danny Baskara. Pendiri Evoucher ini membangun bisnis internet ini tanpa investasi dan zero dalam online marketing budget.

Ini adalah idealisme saya. Dari level seorang entrepreneur menjadi the next something, ungkap Danny kepada Youngsters.id.

Bisnis Evoucher dibangunnya sejak 11 November 2011. Ini adalah produk e-commerce yang menjual voucher dan produk secara online dengan jangka waktu terbatas (time sale). Untuk penjualan voucher kategori yang ada meliputi restoran, travel, hotel, treatment kecantikan. Dan, produk yang dijual pun beragam mulai mulai dari peralatan rumah tangga, gadget hingga busana.
Saya melihat masalah yang ada di masyarakat dan ingin membuka banyak peluang untuk orang banyak,ucap Danny.

Hingga saat ini Evoucher telah mendistribusikan lebih dari 960.000 buah produk dan voucher. Penjualan melalui website dan mobile app dengan pengguna yang terus berkembang. Situs ini disebut-sebut sebagai situs daily deal no 3 di Indonesia, setelah Groupon dan Ensogo. Bahkan, Evoucher termasuk situs B2C e-commerce top 15 di Indonesia.

Padahal bisnis ini nyaris tidak dibangun Danny. Ya, sesungguhnya di tahun 2005 ia sudah memiliki harapan besar terhadap e-commerce. Bahkan mahasiswa jurusan IT di Binus Jakarta itu menulis skripsi berjudul Analisa dan Perancangan Sistem Informasi E-commerce. Namun skripsi itu nyaris ditolak dosen penguji karena dianggap tidak masuk akal. Apalagi dunia bisnis Indonesia sempat digegerkan dengan kebangkrutan Lippo eShop. Rupanya waktu itu belum tepat untuk bisnis ini,kenangnya.

Oleh karena itu, Danny pun berkarier di beragam dunia usaha. Mulai dari bekerja di perusahaan multi level marketing, lalu di studio rekaman. Kemudian dia menjadi internet marketer. Bahkan. pada tahun 2007 dia membuat blog dan belajar tentang SEO dan Google Adsense. Sampai akhirnya memutuskan menjadi internet marketer freelance.

Marketer itu kan lebih bagaimana untuk mendapatkan uang. Sementara menurut saya hidup tidak musti dengan uang, tapi hidup memerlukan uang. Dari sana saya ingin mempunyai brand sendiri yang bisa menghasilkan uang dari internet. Mirip dengan marketer tapi memiliki jalur yang berbeda, ungkap Danny.
Langkah Besar

Pada tahun 2011, pria kelahiran Bali, 11 Juni 1983 ini membuat langkah besar, dengan mengembangkan bisnis e-commerce Evoucher. Pasalnya, saat itu dia belum punya pengalaman untuk membuat perusahaan. Modal awal saya hanyalah keberanian, ujar Danny.
Dia menyadari bahwa waktu tepat dengan cara eksekusi yang tepat menjadi penentu keberhasilan bisnis startup.

Yakin akan hal itu, Danny pun menyewa sebuah apartemen dan membuat kantor di satu kamar. Karyawan waktu itu hanya satu orang. Secara nominal modal awal kurang dari Rp 10 juta, dan itu dari uang pribadi saya, ungkap Danny.

Danny pun fokus pada bisnis daily deals ini. Evoucher bekerjasama dengan pemilik-pemilik restoran, dan pengusaha-pengusaha lain. Awalnya kami menghubungan produk mereka ke masyarakat, termasuk menjual produknya. Jadi lebih mempromosikan produk-produk. terutama produk baru,papar Danny.

Awalnya, pemenang Digital Marketing Award 2012 ini mengakui mengalami kesulitan untuk bisa mendapatkan kepercayaan publik. Di sini kami mencoba mengubah kebiasaan orang. dan itu tidak mudah. Apalagi saat itu orang tidak biasa dengan online dan intenet belum seluas sekarang, ungkap Danny.

Kesulitan lainnya, sulit mencari sumber daya manusia di bidang teknologi. Tetapi dia tidak menyerah. Alhasil, sekarang Evoucher mampu melayani lebih dari 800 ribu anggota aktif dan melakukan transaksi lebih dari 700 ribu kali, dan lebih dari 10 ribu deal yang telah dipublish. Karyawannya pun dari satu orang, kini ada 25 orang.

Jalan Terbaik
Yang menarik semua pencapaian Evoucher itu tanpa pendanaan dari investor. Danny mengaku ia hanya bermodalkan keahliannya di internet (SEO) dan social media marketing (Twitter). Namun ternyata Evoucher mampu bertahan terhadap hempasan bloodbath situs daily deal periode 2010-2012 yang menjatuhkan puluhan situs daily deal.
Kami terus mencari jalan terbaik, dan seiring dengan waktu masalah itu terpecahkan dengan sendirinya,kata Danny.
Ia mengaku Evoucher selain mendapat profit dari penjualan juga dari bisnis be to be. Sama seperti pebisnis lain, kami juga memiliki macam-macam servis, dan itu yang memberi profit, ungkapnya. Dengan itulah selama lima tahun Evoucher berhasil bootstrapping (bisnis dengan dana sendiri).
Barulah di tahun 2015 Danny dan Evoucher-nya memperoleh pendanaan dari Valuein Technology Indonesia (VITI). VITI merupakan perusahaan asal Korea yang berfokus sebagai penyedia digital konten yang juga akan turut meramaikan industri game di Indonesia, dengan pengalaman lebih dari 15 tahun di industri game di Asia Pasifik. Langkah ini supaya kami bisa merealisasikan misi ke depan menjadi perusahaan internet terdepan di Indonesia,ucap Danny.

Peraih Top Brand Kupon Website 2015. ini semakin yakin melangkah di bisnis e-commerce. Menurutnya, saat ini sudah zamannya (e-commerce) dan menjadi tren di Indonesia. Nanti, pasti akan banyak bermunculan technopreneur dan creativpreneur.
Virus technopreneur itu tidak bisa diajarkan tapi bisa ditularkan, karena satu bisnis dengan bisnis yang lain punya cara masing-masing. Ini era yang tepat untuk terjun di bisnis ini. Dan saya optimis dalam lima tahun ke depan Indonesia akan menjadi leader untuk bisnis teknologi di Asia Tenggara. Karena pasar Indonesia itu besar,kata Danny penuh yakin.
=======================================
Danny Baskara
Tempat Tanggal Lahir : Bali, 11 juni 1983
Pendidikan Terakhir : S1 Binus, TI lulusan 2005
Nama Istri : Mega
Nama Perusahaan : PT Evoucher Indonesia
Nama Brand : Evoucher
Tanggal Berdiri : 11 November 2011
Jumlah Pengguna Aplikasi : 260 di google play, member 450
Proyek yang dikembangkan : Sekitar 450
Prestasi yang diraih :
Winner Digital Marketing Award, 2012

Top Brand kupon Website 2015

VERITRANS

http://swa.co.id/swa/headline/ryu-kawano-suliawan-memilih-berbisnis-online-payment

Ryu Kawano Suliawan Memilih Berbisnis Online Payment

by Denoan Rinaldi       - November 13, 2012
Enggan dilabeli sebagai “putra mahkota” Grup Midplaza, Ryu Kawano Suliawan memilih mengembangkan bisnis sendiri di bidang online payment gateway. Di bawah bendera PT Midtrans, putra Rudy Suliawan (pemilik Grup Midplaza) ini mendirikan Veritrans Indonesia—joint venture antara Veritrans Inc., Netprice.com (perusahaan e-commerce di Jepang), dan perusahaan investasi dari Grup Midplaza, PT Mitratama Grahaguna. “Dasarnya, saya tertarik dengan intersection antara bidang TI dan finansial di mana payment gateway berada di ranah itu,” pria kelahiran Jakarta, 9 September 1983, ini mengungkap alasannya memilih bisnis payment gateway.

Ryu Kawano Suliawan
Memang, selain tidak mendompleng di bisnis orang tuanya, selama ini karier Ryu lebih banyak di dunia keuangan. Setelah meraih gelar Bachelor of Art in Economics dari Claremont McKenna College, Amerika Serikat, ia bekerja sebagai analis perbankan investasi di Lazzard, bank investasi asing. Lalu, pada akhir 2007 ia pindah ke Jepang, bekerja di TPG (Texas Pacific Group) Capital—salah satu private equity firm terbesar di dunia. Pada 2010, ia melanjutkan kuliah di Harvard Business School. “Sebenarnya, Veritrans saya buat ketika masih kuliah di Harvard. Ketika itu saya bertemu dengan CEO Netprice dan Veritrans di Jepang pada Juli 2011. Kami bicara dan merencanakan membuat perusahaan bersama. Satu tahun berikutnya, perusahaan itu diluncurkan. Lumayan cepat,” ungkapnya sambil tertawa.

Bisnis payment gateway ini dikembangkan Ryu karena ia melihat potensi perkembangan bisnis berbasis Internet. Namun, menurutnya, ada empat pilar yang harus ada agar industri Internet di Indonesia bisa berkembang baik. Pertama, harus dibuat produk dan layanan yang bagus. Kedua, tersedia infrastruktur (koneksi Internet) yang memadai. Ketiga, sistem logistik dan distribusi harus dibangun secara optimal. Keempat, tersedia sistem pembayaran pendukung. “Keempat pilar itu harus tumbuh bersamaan. Kalau tidak, industri Internet tidak dapat berkembang secara optimal,” ujarnya.

“Saya pilih untuk fokus mengembangkan bisnis pembayaran online, sebab saya masih belum menemukan pihak yang benar-benar berinvestasi besar di bidang payment gateway.” tambahnya. Ia melihat industri e-commerce Indonesia sedang tumbuh. Namun, permasalahannya selalu sama, yaitu sistem pembayaran.

Nah, sebagai sistem untuk memproses transaksi melalui beberapa metode pembayaran online (kartu kredit, KlikBCA, Klikpay Mandiri dan e-wallet), Veritrans akan menjembatani kebutuhan merchant dengan metode pembayaran secara cepat. “Veritrans adalah perusahaan pertama di Indonesia yang memiliki kontrak merchant aggregation dan waktu integrasi hanya satu minggu,” dengan bangga Ryu mengklaim.

Mekanisme kerjanya, jika ada konsumen yang berbelanja di sebuah merchant mau membayar pakai Visa atau Mastercard, datanya terkirim ke bank mitra. Lalu, bank itu memberi uang kepada Veritrans. Oleh Veritrans, uang itu dibayarkan kepada merchant. “Dalam proses ini, kami cuma kenakan charge ke merchant 4% plus Rp 1.000. Setiap ada transaksi, cukup bayar itu saja. Kalau payment gateway lain di Indonesia, ada initial service dan fee lainnya. Sangat rumit,” ungkap Ryu.

Saat ini, meski baru diluncurkan awal Oktober lalu, Veritrans telah menjalin kerja sama eksklusif (kontrak merchant aggregation) dengan Bank CIMB Niaga. Selain itu, juga bekerja sama dengan lima merchant, dan sudah ada 40 merchant yang segera menyusul. Hingga setahun ke depan, Veritrans menargetkan bisa menggandeng 200 merchant.

Ryu menyebutkan, walaupun ia bermitra dengan perusahaan Jepang, pengambilan keputusan sepenuhnya dibuat oleh dirinya, sehingga pihaknya bisa bergerak cepat. Saat ini Veritrans didukung 20 orang, termasuk beberapa engineer. “Boleh jadi, pemain lain lebih besar dan lama, tetapi kami tidak takut,” Ryu menegaskan.”Dalam industri Internet, yang penting bukan besarnya perusahaan, namun kegesitan dan kecerdasan lebih bernilai,” katanya.(*)

Denoan Rinaldi & A. Mohammad BS/Riset: Dian Solihati

TRAGEDY 11 SEPTEMBER 2001

 source: http://www.legacy.com/sept11/story.aspx?personid=91699

ERIC HARTONO

Eric Hartono United Flight 175

MODEST GO-GETTER

Samadikun Hartono, the chairman of Modern Group, an Indonesian conglomerate involved in manufacturing, banking and financial services, wanted his three sons and two daughters to get the best possible education. For him, that meant sending them to the United States. "We like the American way of thinking," Mr. Hartono said by telephone from Jakarta. "You train people with more independence and also wider thinking."

He was pleased when his youngest son, Eric, showed interest in becoming a businessman. "When he was 14 or 15 he already had a different attitude," Mr. Hartono said. "He already was thinking about business."

Mr. Hartono sent Eric to Portland, Ore., where he studied at Temple Christian High School, regularly attended the City Bible Church and lived with Lily and Martin Sudarma, who immigrated from Indonesia in 1971, and their son, Jay.

Friends said that he blended in with everyone. "He never talked about his wealth or what his parents do," said a friend from the school, Dani Setiawan.

After graduating from high school, Eric Hartono moved to Boston, where he attended Newbury College, and then to Los Angeles, where at 20 he was hoping to attend the University of Southern California. In September he went to Boston to visit his girlfriend, Luvena Katherine Kusuma. His return trip was on United Airlines Flight 175.

"After he graduated," his father said, "I wanted him to come back and continue my business."
Profile published in THE NEW YORK TIMES on June 2, 2002.

Eric Hartono was born in Indonesia, but he quickly became an American.
After coming to the U.S. at a young age, the 20-year-old loved basketball and playing video games on his computer, friends said. He attended Newbury College in Massachusetts.

"He was a great guy, really nice and just a good guy," said Mario Hartono, a friend who was not related to the victim. Eric Hartono was a passenger on United Flight 175, which crashed in New York.

After moving to the U.S., Hartono went to high school in Portland, Ore., friends said. His father is a vice president with Fuji Film. But a few years ago, he moved to the Boston area, where he attended classes. Just a few weeks ago, he began a move to the Los Angeles area.

The week before the attack, he was back in Boston, talking to officials at Newbury about transferring credits to another college and meeting up with old friends.
Profile courtesy of THE CHICAGO TRIBUNE.


PENDIRI ASTRA : OM WILLIEM

source: http://gosipnya.blogspot.co.id/2012/06/astra.html

Anak Menantu 
Edward Seky Suryadjaya - Atilah Rapatriati 
Edwin Suryadjaya  - Julie Hendharto 
Joyce Suryadjaya  - Bradley F. Kerr
Judith Suryadjaya 14/02/1952

Cucu - Menantu 
Aditya W. Seky Suryadjaya  - Kristen Lee Sugihara 
Adimas Seky Suryadjaya   
Layana Hermes Cavallius - Andreas Cavallius 
Larisa Putri Isara 
Augusta George LS soeryadjaya 
Latisha Putri Ravania Suryadjaya  

Michael William Suryadjaya  
Marissa Lily Soeryadjaya
Michele Julianne Suryadjaya  

Matthew George S. Kerr
Angelica Nathania Tan - Roberto P. Lumbun Gaol
William Shane Tan - Fanny - Maeloa 

Buyut

Angelina MRS Lumban Gaol 
Aldrich J. Lumban Gaol 
William Nathanael S. Tan

source : http://www.beritaindonesia.co.id/tokoh/877-william-soeryadjaya-tak-bisa-lepas-dari-astra

Ia mendirikan raksasa otomotif PT Astra Internasional Inc tahun 1957, tetapi harus melepasnya tahun 1993. Belasan tahun kemudian ia muncul di hadapan 1.000-an tamu undangan perayaan pesta berlian pernikahannya dengan Lily Anwar.

William Soeryadjaya bersama istri Lily AnwarSejak Bank Summa dinyatakan kalah kliring, lalu dilikuidasi oleh pemerintah Desember 1992, pendiri sekaligus pemilik induknya PT Astra Internasional, William Soeryadjaya, secara gentle memasukkan dirinya sebagai jaminan pribadi untuk menyelesaikan seluruh kewajiban bank yang dipimpin oleh putra sulungnya, Edward Soeryadjaya. Sejak itu lepas sudah keterkaitan William dengan Astra, perusahaan otomotif yang telah beranak pinak ketika itu.
Pria yang biasa dipanggil Om William ini, berhasil membangun kerjasama ekonomi berdimensi luas dengan kaum nahdliyin yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU), dengan mendirikan bank perkreditan rakyat (BPR) tahun 1989 diberi nama BPR NU-Summa. Ia dengan legowo melepas kepemilikan saham-sahamnya di Astra demi mempertahankan reputasi sebagai pengusaha yang memiliki moral dan integritas tinggi.

Pria kelahiran Majalengka, Jawa Barat 20 Desember 1922 ini lantas surut dari hiruk-pikuk peta perjalanan bisnis otomotif Indonesia. Ia muncul di media massa sesekali saja. Hingga merayakan hari pernikahan ke-60 dengan Lily Anwar, istri yang telah memberinya empat orang anak, 10 cucu serta satu cicit, ini di Hotel Grand Melia Jakarta pada 15 Januari 2007, figur William dalam pemberitaan media massa rupanya masih identik dengan ketokohan yang tak bisa dilepaskan dari sejarah Astra. Astra adalah entitas bisnis yang memang sungguh-sungguh dibangun William dari bawah penuh pahit-getir.

Seperti selama puluhan tahun sebelumnya, kali ini penampilan William tetap saja sama mengenakan dasi kupu-kupu, sesuatu yang sudah menjadi ciri khasnya.

Pemilik nama asli Tjia Kian Lion, ini menikahi Lily Anwar seorang gadis yang supel dan pandai bergaul di Bandung pada 15 Januari 1947. Keduanya berkenalan saat kota Paris van Java itu sedang bergejolak dengan apa yang disebut “Bandung Lautan Api”. Lily sendiri waktu itu sedang membantu kakaknya, yang menjadi Ketua Regu Palang Merah untuk menolong korban perang. “Kami bertemu di Bandung sekitar tahun 1943. Waktu itu, Lily adalah anggota Chinese Red Cross yang diketuai Om Dollar, ayah mertua dari Rudi Hartono (pebukutangkis, Red),” papar William kepada Suara Pembaruan.

Kegetiran hidup William sudah bermula sejak Oktober 1934 saat ia kehilangan ayah, menyusul kemudian kehilangan ibu pada Desember 1934. Di usia 12 tahun ia lengkap sebagai yatim piatu, dan pada usia 19 tahun putus sekolah. Di zaman Jepang, William yang sejak usia dini sudah berbakat mewarisi jiwa wiraswasta dari sang ayah, mulai berdagang hasil bumi di wilayah kota Cirebon. Proses ini menempanya menjadi manusia baru yang ulet, cerdas, inovatif dan peka atas naluri dalam meniti bisnis demi bisnis.

Tak lebih dua minggu setelah menikah, anak kedua dari enam bersaudara ini pergi seorang diri ke Belanda, mengikuti kursus sambil berdagang. Menyusul kemudian istrinya datang hingga lahir anak pertama Edward dan Edwin. Februari 1949 mereka kembali, di Indonesia lahir kedua anak perempuannya Joyce dan Judith. Di Jakarta ia mendirikan pabrik kulit, serta CV Sanggabuana bergerak di bidang perdagangan ekspor-impor.

Oleh rekan bisnis, ia pernah tertipu hingga rugi jutaan DM. Tetapi bersama adiknya Tjia Kian Tie, dan seorang temannya bernama kawan Lim Peng Hong, William pada tahun 1957 mendirikan PT Astra Internasional Inc, awalnya bergerak memasarkan minuman ringan, mengekspor hasil bumi, hingga minyak serai. Ia kemudian menggeluti otomotif tahun 1968, dengan memasukkan 800 unit truk Chevrolet yang laris bak kacang goreng. Sejumlah keberuntungan membuat bintang William sangat bersinar ketika itu. Seperti, kemunculannya tepat di awal pemerintahan Orde Baru yang giat melakukan program rehabilitasi besar-besaran demi menyukseskan pembangunan Repelita. “Truk sangat dibutuhkan waktu itu, hingga larisnya seperti pisang goreng,” kenangnya. Demikian pula lonjakan kurs, dari Rp 141 ke Rp 378 per dollar AS. “Bisa dibayangkan berapa keuntungan kami,” katanya.

Masa depan William selanjutnya mudah dikenali. Astra mulai merakit sendiri truk Chevrolet, mengageni dan merakit alat besar Komatsu, mobil Toyota dan Daihatsu, sepeda motor Honda, mengageni mesin fotokopi Xerox, hingga bergerak ke agrobisnis. Tiga belas tahun setelah didirikan, Astra sudah memiliki 72 anak perusahaan, terus meroket ke akhir 1992 memiliki kurang lebih 300 anak perusahaan bergerak di berbagai sektor termasuk keuangan, perbankan, perhotelan hingga properti. William bukan tipe pengusaha yang suka membusungkan dada. Melainkan, bersyukur untuk semua itu. “Keberhasilan Astra berkat kerja keras seluruh karyawan dan rahmat Tuhan, bukan karena keberhasilan saya pribadi,” ucapnya. HT (dari berbagai sumber/Berita Indonesia 31)