https://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/2716502/ini-alasan-bumn-perkebunan-rni-masuk-ke-bisnis-properti
Minggu 12 Oct 2014, 15:20 WIB
Ini Alasan BUMN Perkebunan RNI Masuk ke Bisnis Properti
Jakarta - PT Rajawali Nusantara Indonesia, telah genap berusia 50 tahun merambah bisnis perkebunan tebu, sawit, hingga industri farmasi bahkan peternakan sapi. Di usia yang masuk setengah abad, BUMN ini mulai merambah ke bisnis properti, seperti perkantoran dan hotel.
Kenapa BUMN perkebunan merambah ke bisnis properti?
Direktur Utama PT RNI Ismed Hasan Putro beralasan, masuknya RNI ke bisnis properti tak terlepas dari latar belakang perseroan, yang dulu merupakan perusahaan hasil nasionalisasi pemerintah terhadap Oei Tiong Ham Concern (OTHC), yaitu sebuah perusahaan konglomerasi bisnis pertama di Indonesia.
Pada 1961, Oei Tiong Ham Concern (OTHC) dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia pada zaman Soekarno, selanjutnya pada tahun 1964 pemerintah menjual seluruh aset perusahaan dan dimasukkan sebagai penyertaan modal dalam pendirian PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional (PPEN) Rajawali Nusantara Indoneia (PT RNI), pada 12 Oktober 1964. Pasca dinasionalisasi, Oei Tiong Ham Concern (OTHC) mewarisi banyak aset lahan tersebar di berbagai kota di Indonesia.
"Oei Tiong Ham, memiliki lahan berupa perkantoran, pabrik dan pergudangan, yang berada di kota-kota strategis di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Malang, bahkan sampai ekspansi bisnis ke ASEAN," kata Ismed kepada detikFinance, di kantornya, Kuningan, Minggu (12/10/2014)
Menurut Ismed, rencana membangun properti seperti perkantoran dan hotel, tak terlepas dari semangat mengembalikan lini bisnis RNI yang sejak awal sudah akrab dengan properti. Bahkan kata Ismed, sejak tahun 1980-an RNI sudah mengelola kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Selain itu, dengan masuknya perseroan ke bisnis properti, bertujuan untuk memaksimalkan aset perseroan seperti di Jalan MT Haryono, Jakarta Timur. Ia mengakui ada beberapa aset yang masih bermasalah secara legal, kini tercatat ada 60% aset yang sudah balik nama, sisanya 40% belum balik nama atas nama PT RNI.
"Banyak aset-aset RNI secara legal bermasalah yang sangat rawan adanya tarik menarik kepentingan di situ, yang mana aset-aset yang feasible kita garap secara bisnis yang clear and clean, kita temukan kita proses di BPN, dirjen kekayaan negara di kemenkeu, kemudian di kementerian BUMN," katanya.
Ismed mengatakan perkantoran dan hotel dibangun di Jalan MT Haryono, seluas 7.025 meter persegi dengan biaya sebesar Rp 490 miliar, yang pendanaannya 30% dari kas internal dan 70% dari pinjaman bank. Rencana lokasi gedung perkantoran dan hotel ini memilii 18 lantai, yang berdekatan dengan Wisma Indomobil.
"Pembangunan dimulai 2015 selesai 2016, ditargetkan dalam 2 tahun, telah membukukan total pemasukan Rp 430 miliar," katanya.
Selain pengembangan Gedung Kantor dan Hotel di Jalan. MT Haryono 12-13 Jakarta Timur, RNI juga akan membangun Hotel di Jalan. Dr. Wahidin 49 Cirebon, Jawa Barat.
Wednesday, July 26, 2017
OTHC
http://arsip.gatra.com/2013-07-02/majalah/artikel.php?pil=23&id=154518
Menelusuri Warisan Sang Raja Gula
Tercatat sebagai konglomerat pertama Asia, Oei Tiong Ham meninggalkan banyak warisan di kota Semarang. Dua di antaranya adalah bangunan yang dikenal dengan nama Istana Gergaji dan Gedong Dhuwur. Berbeda dari Istana Gergaji yang kini berubah nama menjadi Bernice Castle, seiring dengan peralihan kepemilikannya, Gedong Dhuwur sangat tidak terawat. Wartawan Gatra Arif Koes Hernawan menyambangi warisan sang raja gula pada pekan ketiga Juni lalu. Berikut penuturannya.
Gedung kuno itu bukan tanpa alasan disebut sebagai istana. Halamannya luas dan dari kejauhan tampak bangunan persegi nan simetris itu demikian kokoh. Arsitektur gedung warna putih yang menghadap ke barat itu bergaya Corinthian ala bangunan Eropa, ditandai dengan delapan pilar besar --berhiasan ukiran kayu di bagian atasnya-- di teras bangunan. Antara halaman berkanopi dan teras gedung dipisahkan tangga dan diapit jambangan ukuran besar.
Ada tiga pintu dan empat jendela kayu di bagian depan gedung itu. Semua ramping memanjang dan berdaun ganda. Khusus di pintu dan jendela depan, dijumpai ukiran tipis yang tidak ditemui di bagian lain rumah itu. Ukiran ini berupa empat garis lengkung yang saling bertemu dengan lingkaran di bagian tengah dan tanda panah di atasnya, beserta enam titik di bagian kanan dan kiri. Sekilas terbentuk inisial "OTH", yang menandai pemilik gedung itu.
Selamat datang di istana Oei Tiong Ham! Sesuai dengan nama kampung di sana, gedung itu disebut Istana Gergaji. Warga menyebutnya pula sebagai Istana Balekambang dan Kebon Rojo, sesuai dengan gazebo-gazebo di atas air dan kebun binatang yang pernah ada di sana.
Bangunan di Jalan Kyai Saleh 12-14, Mugassari, Semarang, itu adalah satu dari segelintir aset Tiong Ham yang masih tersisa dan terawat baik. Modelnya menunjukkan cita rasa mewah mendiang "raja gula" berkekayaan 200 juta gulden tersebut. Pada masanya, luas area gedung itu 9,2 hektare, dengan 200 ruangan dan menjadi bagian kompleks kawasan milik Tiong Ham sekitar 81 hektare. Menurut catatan pemilik terakhir, gedung itu berada pada lahan seluas 7.560 meter persegi.
Ketika pintu depan dibuka, tampak ruang utama berupa ruang lapang tanpa sekat. Sisi kanan dan kiri dihiasi lukisan sepasang bangsawan Victoria berukuran besar. Terdapat pula dua lampu gantung dan beberapa lampu dinding kecil berornamen Cupid. Lukisan, lampu, dan semua ornamen merupakan barang baru milik pengelolanya kini, bukan asli dari zaman Tiong Ham.
Ada lima pintu di sisi kanan dan kiri ruang utama yang berhadapan dan sejajar. Pintu ini masing-masing menghubungkan ruang samping, teras, dan kanopi kayu ke pavilyun. Di ruang samping dibuat tiga bilik toilet. Di sampingnya lagi, pintu mengarah ke teras kecil dengan terop kayudan tangga kecil. Sisi ujung memiliki dua pintu yang mengapit teralis besi membatasi ruang belakang. Ruangan ini juga tanpa sekat, dengan pintu dan jendela dari kaca nako.
Awalnya Milik Hoo Yam Loo
Dua bangunan sayap atau pavilyun memanjang ke timur dan terdiri dari beberapa ruang. Antara lain digunakan untuk ruang kantor, perpustakaan, dan kamar-kamar. Nah, di ruang berikutnya terdapat meja marmer dan kursi kayu. Ada empat lukisan kecil berisi panorama kota-kota di Eropa.
Yang mencolok dari ruang ini adalah kolam persegi dengan tegel berornamen warna biru. Kolam disekat menjadi dua bagian. Pada bagian kecil, terdapat keran air. Pada bagian besar, berdiri patung perempuan menuang guci. Patung dan kolam itu tampak kotor dan berdebu. Konon, inilah bak mandi Oei Tiong Ham.
Pavilyun selatan juga terdiri dari beberapa ruang. Bagian ini lebih asri, bersih, dan terawat. Di setiap teras ruang diletakkan bangku kayu. Ruang-ruang ini pernah digunakan sebagai kelas kampus swasta bersama bangunan baru tingkat dua di sisi ujung timur kompleks ini.
Persis di tengah sejumlah bangunan itu dibuat taman ketika dilakukan renovasi, berupa kolam air dengan hiasan patung kecil dan bangku-bangku. Namun taman ini juga kurang terawat, airnya tak mengalir dan kotor, dan tanaman di sekitarnya nyaris tumbuh liar. Toh, suasana di bagian belakang istana ini begitu hijau dengan pohon-pohon tinggi nan rimbun, seperti pinus, palem, dan kelengkeng.
Istana ini semula milik Hoo Yam Loo, pengusaha Tionghoa yang mendapat hak istimewa untuk memonopoli perdagangan candu. Namun ia akhirnya rugi besar hingga usahanya bangkrut. Sejak itu, harta Hoo disita pengadilan untuk dilelang, termasuk gedung besar miliknya tersebut. Singkat kata, Oei Tjie Sin, ayah Tiong Ham, memenangkan lelang rumah Hoo itu pada 1883.
Ada Ruang Khusus Berpendingin
Pada usia 22 tahun, Tiong Ham menempati rumah tersebut. Keputusan ini tergolong berani ketika itu. Soalnya, pemerintah kolonial Belanda masih menerapkanWijkenstelsel. Ketentuan ini mengatur orang-orang Tionghoa untuk tinggal di wilayah tertentu sesuai dengan aturan pihak kolonial. Mereka dilarang membangun rumah dan tinggal di luar kawasan itu. Aturan inilah yang melahirkan kawasan Pecinan seperti yang kita kenal saat ini.
Sementara itu, gedung bekas milik Hoo tersebut berada di permukiman Belanda. Untuk memuluskan keinginannya tinggal di situ, Tiong Ham sampai menyewa pengacara Belanda kondang guna mengurus legalitasnya. Sang raja gula juga memanfaatkan kedekatannya dengan gubernur jenderal waktu itu untuk mendapat izin tinggal di rumah barunya tersebut.
Setelah menempati gedung itu, Tiong Ham melapisi lantai dengan ubin marmer yang didatangkan dari Italia. Karakter Tionghoa tampak pada gerbang di pelataran gedung. Juga pada hiasan seperti lukisan, sulaman, dan kaligrafi aksara Cina. Sedangkan untuk perabotan, Tiong Ham menyukai mebel-mebel dari kayu, rotan, dan bambu.
Sejarawan Tionghoa asal Semarang, Jongki Tio, mengungkap keunikan bangunan itu dalam buku kecil Istana Oei Tiong Ham Balekambang Semarang. Di situ ada ruang khusus untuk menyimpan daging, sayur, dan ikan yang memerlukan pendingin agar tahan lama. "Saat itu belum dikenal lemari es sehingga sebagai gantinya dipakai balok-balok es yang tiap kali harus diganti. Di ruang tersebut dibuat pula saluran-saluran khusus untuk mengalirkan air dari es yang meleleh," tulisnya.
Salah satu yang menarik, istana ini dilengkapi pula dengan kebun binatang mini. Koleksi hewannya menjadi tujuan wisata warga Semarang pada perayaan Imlek dan Idul Fitri ketika itu. Tak terkecuali gubernur jenderal Belanda dan pejabat kolonial.
Pernah Dikunjungi Raja Siam
Taman istana ditumbuhi berbagai bunga dan terdapat kolam-kolam ikan. Di atas kolam didirikan gazebo untuk beristirahat. Nama Balekambang muncul dari bangunan ini. Bale berarti balai-balai atau saung dan kambang berarti terapung di permukaan air. Taman ini dilengkapi dengan gunung buatan dari karang dan ratusan patung. Satu-satunya patung yang tersisa saat ini, menurut pengelola gedung, adalah patung malaikat warna putih di pelataran belakang. Patung ini tertutup tanaman liar dan berada di dekat bangku dan kolam yang dibuat saat renovasi tahun 2003.
Keindahan taman pada masa kejayaan Tiong Ham tidak berhenti sampai di situ. Ada tempat pentas untuk pemain musik Tionghoa dan gamelan Jawa beserta sinden dan penari. Apalagi, panorama alam sekitar memesona ketika itu. Istana ini menjadi bagian bukit dari sisi selatan --yang kini menjadi kompleks pemakaman umum Bergota-- hingga ke arah timur gedung yang telah berubah menjadi permukiman padat, termasuk bangunan Polda Jawa Tengah. Untuk mempercantik istana, lampion-lampion impor dari Tiongkok dinyalakan pada malam hari. Jalan di depan istana pun menjadi ramai serupa pasar.
Keindahan istana ini tersiar sampai ke luar negeri. Salah satu turis asing yang berkunjung adalah Raja Siam. Para penumpang kapal yang sedang berlabuh di Semarang juga menyempatkan diri berekreasi ke sini. Dan tamu yang menginap dijamu di kamar-kamar pavilyun.
Untuk mengurusi rumah tangga istananya, Tiong Ham mempekerjakan sekitar 40 orang. Uniknya, seperti diungkapkan Jongki Tio, di antara karyawan Tiong Ham, terdapat orang-orang Belanda. Ketika itu, masih sangat sedikit orang bule yang bekerja pada orang Asia. Untuk mengatur seluruh pekerja itu, harus diangkat kepala staf yang berwibawa, yang disebut Mayordomo.
Jumlah itu belum termasuk pekerja bagian kebun yang mencapai sekitar 50 orang. Kepala urusan kebun dipercayakan kepada ahli perkebunan dan tanaman dari Sumatera. Para pekerja tinggal di rumah-rumah di bagian belakang kebun istana. Luas rumah-rumah itu sesuai dengan pangkat mereka. Boleh jadi, inilah cikal bakal Kampung Balekambang dan Gergaji saat ini.
Dibeli dalam Kondisi Memprihatinkan
Sepeninggal Tiong Ham pada 1924, kompleks istana diwariskan kepada anaknya, Oei Tjong Hauw. Pada hari-hari raya, istana ini masih bisa dikunjungi warga. Tapi, sejak keputusan penyitaan aset Tiong Ham, istana ini menjadi milik pemerintah. Secara de facto, istana ini dikuasai Kodam Diponegoro dan dijadikan Balai Prajurit.
Pada 2003, pengusaha Budi Purnomo alias Hoo Liem membeli Balai Prajurit. Sebelum Budi, konon ada tiga hingga empat pihak yang tertarik pada bangunan itu, tapi transaksi mereka selalu batal. Ayah Budi, mendiang Hoo Liong Tiauw, yang berkeras atas pembelian karena tertarik dengan bangunan kuno dan bersejarah itu. Nilai transaksinya tidak diketahui secara persis.
Adik ipar Hoo Liem yang dipercaya menjadi pengelola gedung, Rini Hayati, bercerita tentang kondisi istana ketika itu. "Nyaris hancur," ujarnya saat ditemui Gatra, beberapa waktu lalu. Cat dinding sebagian besar tembok mengelupas sehingga tampak lapisan dalam yang hijau tua. Beberapa bagian tembok keropos dan sejumlah plafon atap rusak. Kaca-kaca jendela juga nyaris semuanya pecah.
Lucunya, ubin-ubin marmer, yang ketika transaksi masih utuh, saat didatangi dan ditempati, sudah hilang dicongkel. Alhasil, seluruh bagian dasar gedung hanya berupa plester. Bangunan juga kosong melompong tanpa menyisakan perabot, lukisan, atau ornamen satu pun.
Bagian luar rumah tak kalah memprihatinkan. Ornamen kayu pada lorong ke pavilyun patah. Pelataran gedung, terutama di sisi belakang, subur oleh alang-alang. Untunglah, kualitas seluruh kusen pintu dan jendela masih oke. Hanya besi pada gerendel yang rusak. "Jadi, tetap lebih banyak yang rusak," katanya.
Untuk itu, renovasi pun dilakukan selama tiga tahun. Prosesnya berlangsung menyeluruh dan sedetail mungkin. Dindingnya dicat ulang, lantai dilapisi tegel marmer asal Tulungagung, sampai perbaikan plafon yang jebol. Pola ornamen kayu di koridor penghubung ke pavilyun dibuat ulang satu per satu dengan meniru ornamen yang masih utuh. Kaca-kaca jendela dengan hiasan motif yang telah pecah atau hilang juga diganti dengan kaca yang dibuat sama persis. Simpai-simpai besi keemasan penguat plafon atap dikumpulkan dan dipasang ulang.
Gedung utama sedikit berubah. Dinding pembatas dan dua pintu bagian tengah ruang dijebol, sehingga dua ruang gedung utama menyatu dan menjadi aula yang sangat lebar. Perubahan gedung utama diminimalkan karena dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Bangunan Cagar Budaya. Dalam keterangan rencana kota, bangunan utama tidak boleh dipugar tanpa seizin wali kota. Selebihnya tidak ada perubahan mencolok.
Dimanfaatkan untuk Beragam Kegiatan
Seiring dengan renovasi itu, Hoo Liem membangun gedung dua lantai baru di bagian belakang. Sejak 2004, gedung itu digunakan untuk kampus Sekolah Tinggi Manajemen Infomatika dan Komputer (STMIK) Provisi hingga berakhir dua tahun silam. Dalam kurun waktu itu, Hoo Liem menjadi salah satu penyandang dana di yayasan kampus tersebut. Selain itu, ruang di pavilyun sisi utara digunakan sebagai tempat kursus bahasa asing, Study World, dan butik pakaian.
Kini gedung itu bernama Bernice Castle. Namanya diambil dari nama baptis istri Hoo Liem, Bernice Leowita Sandjaja. Keindahan arsitektur lawas dan suasana asri menjadi daya tarik gedung itu untuk disewakan sebagai ruang pertemuan dan resepsi, dengan biaya sewa Rp 23 juta.
Tidak sedikit pula yang tertarik untuk mengabadikan momen di sana. Terutama pasangan yang hendak menikah dan melakukan foto pre-wedding. Apalagi, pada musim nikah seperti dua bulan belakangan ini, rata-rata ada tiga hingga empat pemotretan. Lokasi favorit biasanya di gedung utama, selasar ruang pavilyun, dan taman halaman belakang. Pengelola mematok tarif foto Rp 500.000 per tiga jam.
Ruang bagian belakang gedung utama disewakan untuk sekolah balet anak-anak di sore hari. Pelataran depan dibuka untuk lahan parkir usaha mobil sewa, sedangkan halaman belakang untuk parkir mobil-mobil yang dijual. Pelataran gedung baru sekali digunakan untuk acara musik yang menggaet sponsor, beberapa bulan lalu. Sedangkan kegiatan sosial, seperti latihan tari anak yatim piatu dan kelompok bela diri, diizinkan di teras gedung secara cuma-cuma.
Berbagai langkah tersebut dilakukan demi menopang pengelolaan gedung. Maklum saja, ongkos operasional dan pemeliharaan gedung ini tidak sedikit. Rini enggan membeberkan jumlahnya. "Pokoknya besar," kata dia sambil tersenyum. Kabarnya, untuk listrik saja mencapai Rp 3 juta per bulan. Untuk pekerja, Bernic Castle memiliki dua penjaga dan tiga tukang bersih-bersih.
Rini pun menuturkan, "pemilik asli" istana ini pernah bertandang beberapa kali sekadar menengok peninggalan leluhur mereka. Terakhir kali, pada Juli 2011, dua anak termuda Tiong Ham dari istrinya yang terakhir, Lucy Hoo, berkunjung. Mereka adalah Oei Tjong Bo, kakek 90 tahun, dan Lovy, perempuan 91 tahun. "Mereka sangat kagum, hampir tidak percaya istananya masih berdiri kokoh, bahkan jauh lebih indah interiornya. Semula, mereka mengira istananya sudah hampir ambruk atau rusak parah," ungkapnya.
Saat Gatra masih berada di istana ini, ada empat orang yang datang mengendarai mobil berpelat nomor Solo. Seorang di antaranya perempuan paruh baya, yang ternyata Imelda Sundoro, pemilik Sun Motor, yang kini getol mengembangkan jaringan properti dan hotel berbintang di Solo, Semarang, dan Yogyakarta.
Mengenakan setelah hijau tua, ia tampak antusias menyusuri tiap bagian gedung. Tiap ruang yang terkunci diminta untuk dibuka. Beberapa bagian kompleks gedung, seperti halaman belakang, diukur. Setiap detail ditanyakan keasliannya kepada penjaga gedung, seperti tegel lantai, lukisan, lampu, hingga tempat mandi sang raja gula.
Ia sudah punya rencana untuk gedung itu. Misalnya, menjadikan gedung utama sebagai resto dan membangun tempat parkir bawah tanah sehingga terdapat akses ke gedung utama. "Biasanya orang malas jalan jauh dari mobilnya," katanya. Namun ia masih belum mengerti bagian mana yang boleh atau tidak boleh dibongkar. "Kalau boleh nanti jadinya seperti ini, kalau tidak boleh seperti itu," katanya lagi kepada tiga laki-laki yang menyertainya.
Secara terpisah, Rini menjelaskan bahwa istana itu akan dijual. Harga yang ditawarkan Rp 60 milyar. Hoo Liem berencana menggunakan hasil dana penjualan itu untuk mengembangkan usaha ban karet di Jawa Barat. Sejumlah pengusaha, beberapa dari Semarang, seperti pemilik merek jamu atau minuman kemasan, pernah berminat. "Ibu Imelda juga masih survei-survei, belum deal," ujar dia.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sarang Garuda Bagai Tak Bertuan
Sambil menggendong bayi, seorang ibu duduk tenang. Di belakangnya, perempuan lain asyik menelisik rambut si ibu: lagi petan alias mencari kutu. Keduanya seolah tak peduli dengan suasana sekitar yang begitu hiruk-pikuk pada Sabtu petang pekan ketiga Juni lalu.
Di seberang mereka, para bocah berlarian atau bermain dengan sepedanya. Para bapak duduk-duduk, ditemani secangkir kopi dan rokok kretek, sambil mengobrol ngalor-ngidul. Tak jauh dari situ, seorang ibu sibuk mencuci baju, sedangkan suaminya memandikan sang putri. Lalu ada pemuda menggeber sepeda motor dengan raungan keras. Tampak pula seorang pria yang tengah memberi makan ayam.
Dua perempuan yang sedang petan itu duduk di tangga sebuah rumah kuno, berupa bangunan dua tingkat yang disebut warga sebagai Gedong Dhuwur alias Gedung Tinggi. Inilah satu lagi bangunan jejak Oei Tiong Ham di Semarang, selain Istana Gergaji. Letaknya di kawasan padat penduduk di Pamularsih Dalam atau Simongan. Dahulu, kawasan ini disebut Penggiling karena menjadi tempat penggilingan tebu.
Kondisi kompleks bangunan peninggalan Tiong Ham yang satu ini jauh berbeda dibandingkan dengan kemegahan Istana Gergaji. Sebutan "asrama" sudah menjelaskan situasi itu. Bangunan utamanya terdiri dari dua lantai. Bagian dasarnya telah disekat-sekat sebagai rumah warga, sedangkan lantai atas dibiarkan kosong tak terurus.
Gedung ini aslinya menghadap selatan. Jejak yang masih dapat diamati justru di bagian belakang rumah, yakni di sisi utara. Empat pilar bulat dari batu di teras tampak masih kokoh. Pada bagian teras yang mencakup tiga pilar telah dipasang papan kayu untuk rumah warga.
Lantai dasar semula terbagi menjadi lima ruang dengan luas berbeda. Warga lalu membuat sekat-sekat di bagian dalam bangunan utama ini. Sehingga ruangan dalam gedung berukuran sekitar 20 x 12 meter ini dapat dibagi dan ditinggali keluarga berbeda. Beberapa bagian dinding luar mengelupas. Sebagian dibiarkan sehingga terlihat batu batanya. Sebagian lagi ditambal alakadarnya.
Sisi depan bangunan yang menghadap selatan sudah tak terlihat wujud aslinya. Kondisinya semrawut dan terhalang bangunan-bangunan tambahan. Antara lain kamar mandi, tempat cuci pakaian, hingga kandang ayam. Seng-seng dipasang sebagai pagar dan jendela-jendela bangunan asli, ditambahi kanopi dengan kayu seadanya. Berbagai perabot dan perkakas teronggok begitu saja di teras.
Padahal, dahulu bagian ini menjadi halaman depan untuk keindahan rumah sang raja gula dengan adanya kolam teratai yang selebar gedung utama. Kolam ini sama sekali tak berbekas karena persis di depan bangunan, hingga ke bawah bagian bukit, padat oleh rumah warga.
Kondisi lantai II gedung utama lebih mengenaskan. Setelah menaiki tangga besi di sisi timur rumah, begitu menginjak di lantai atas, ada bumper mobil yang dijadikan penadah air hujan. Ini sudut koridor timur dan selatan. Koridor atau serambi mengelilingi seluruh ruangan. Koridor selatan hanya diisi bangku dan perkakas pertukangan.
Lantai terbuat dari kayu. Konon, dahulu semua lantai kayu di lanta II ini berlapis aluminium sehingga kokoh untuk atap bangunan bawahnya. Kini lantai di koridor utara dilapisi ter sehingga masih kuat. Sedangkan lantai kayu di serambi sisi timur dan selatan sudah lapuk. Alhasil, bagian tersebut tak bisa dilalui. Di serambi timur pun, tampak beberapa bagian lantai kayu yang ambles.
Terkisah, Bambang Wijanarko, 51 tahun, masih duduk di kelas I SD ketika diajak orangtuanya menempati rumah baru. Ketika itu, awal 1970-an, sang bapak, Soekisno, disebut sebagai Ajendam, tanpa tahu kepanjangan dan pangkatnya, di Kodam IV Diponegoro (kini Kodam VII). Rumah baru itu, ya, Gedong Dhuwur ini.
Sang ayah dan rekan-rekannya datang dari kesatuan berbeda. Tanpa surat atau dokumen apa pun, mereka menempati Gedong Dhuwur dan membagi ruang di lantai dasar untuk tempat tinggal. "Tahu sendiri siapa yang berkuasa waktu itu," kata Bambang, yang dipercaya warga menjadi juru bicara asrama.
Alokasi pembagian lantai Gedong Dhuwur juga kurang jelas. Bambang tak tahu mengapa, misalnya, sang ayah mendapat jatah paling luas, yaitu seluruh bagian lantai II. Meski tak tinggal di situ, sehari-hari ia bekerja dengan membuka bengkel dempul di lantai atas Gedong Dhuwur. "Dulu ini kantornya konglomerat Oei Tiong Ham," tutur warga Pasadena, Semarang Timur, itu.
"Waktu itu, Oei bisa melihat langsung kapal-kapal dagangnya datang," katanya bak sejarawan sambil melayangkan pandangan ke arah utara. Sembari menyusuri tiap ruang di lanta II, ia mengingatkan untuk berjalan pelan-pelan. Selain karena kayunya sudah lapuk, juga bisa mengganggu penghuni di lantai dasar.
Pada 1970-an, Bambang mengenang, artefak peninggalanTiong Ham masih tersisa. Pada masa awal tinggal di Gedong Dhuwur, Bambang ingat, terdapat sepasang patung singa di pintu utama di sisi selatan gedung. "Konon, jumlahnya semula ada enam," ujarnya.
Dari cerita-cerita yang beredar, belakangan Bambang tahu, patung singa itu unik. Bukan patung singa ala Tionghoa yang dijumpai di banyak kuburanCina, melainkan singa gaya Eropa. Ada pula yang menyebut patung gaya Yahudi. Ciri figurnya tidak seimajinatif singa Tiongoa, tapi lebih realis dengan surai-surai yang tampak jelas. Toh, kata Bambang, sepasang singa itu raib digondol maling.
Dari sisa-sisa kekayaan Oei, tidak ada yang lebih heboh saat warga menemukan sejumlah guci dan koinkuno di lahan itu. Ada warga yang menemukan jambangan saat hendak membuat fondasi rumah. Isinya koin berbahan tembaga dengan angka tahun 1700-an. "Masih ada lambang dan tulisan V-O-C," kata Bambang seraya mengeja. Karena tak tahu nilainya, warga asal saja menjual Rp 5 per koin saat itu.
Semua peninggalan itu tak berbekas. Menurut Bambang, benda-benda itu tidak diketahui lagi rimbanya. Hilangnya sejumlah bagian bangunan juga karena dipugar sewaktu ditinggali warga. Misalnya, gapura di pintu utama di sisi selatan gedung dibongkar pada akhir 1970-an.
Sekitar 20 tahun silam, beberapa orang Tionghoa dari Belanda dan Singapura yang mengaku kerabat dan karyawan Tiong Ham datang bertandang. Seorang dari mereka yang mengaku stafnya bahkan mengatakan, gedung ini memiliki bungker. "Kalau benar ada, ya, jadi rahasia mereka yang pernah di sini," tutur Bambang.
Kunjungan keluarga dan karyawan Oei itu, bagi Bambang, tak lebih dari sekadar untuk nostalgia. Soalnya, bangunan ini telah ditempati sekitar 40 kepala keluarga. Mereka adalah keturunan tentara atau pendatang yang membeli petak rumah tersebut. Padahal, tak ada catatan resmi satu pun atas kepemilikan bangunan ini. Hingga kini, pemda dan badan yang berwenang untuk cagar budaya tak mengurusi situs ini. "Bangunan ini tak bertuan," ujar Bambang.
Sejauh ini, bukannya tak ada kajian tentang Gedong Dhuwur. Setidaknya, Ndaru Hario Sutaji dari Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro, Semarang, pernah menyusun tesis tentang bangunan itu pada 2005. Riset berjudul "Tata Ruang Gedong Dhuwur di Kawasan Bersejarah Simongan Semarang" tersebut mengungkapkan, berdasarkan arsip dan dokumentasi, kompleks bangunan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu 1909-1965.
Menurut Ndaru, gedung yang awalnya berjuluk "Sarang Garuda" ini memiliki arsitektur Indisch. Langgam bangunan ini lazim dibangun pihak kolonial Belanda. Tapi, berbeda dari umumnya gedung Indisch, tata ruangnya mendapat pengaruh arsitektur Cina dengan perwujudan fengshui pada peletakan unsur-unsur bangunan.
Misalnya, arah hadap bangunan dan pintu utama ke sisi selatan yang dipercaya sebagai sumber kebaikan. Selain itu, juga menghindari angin dingin dari Laut Cina di utara. Posisi Gedong Dhuwur yang menghadap lembah dan lokasi perbukitan berbentuk tapal kuda berkaitan dengan aliran kosmik chi dalam fengshui.
Gedong Dhuwur juga mempertimbangkan keberadaan kompleks situs Kelenteng Sam Po Kong di Gedong Batu. Dari kedua situs ini, masing-masing bangunan terlihat jelas.
Secara keseluruhan, tiap bangunan di kompleks Gedong Dhuwur merupakan kombinasi karakter Indisch, Cina, dan Jawa, dengan memadukan fungsi ruang tertutup dan terbuka. "Sejarah Gedong Dhuwur merupakan kekayaan budaya masa lalu bagi Semarang yang layak dipahami dan diapresiasi. Rancangannya yang konstektual dengan Gedong Batu dan arsitektur pada zamannya merupakan kunci guna mempertahankan kelestariannya," ungkap Ndaru dalam rekomendasi penelitiannya.
Arif Koes Hernawan
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kisah Singkat Si Raja Gula
Oei Tiong Ham lahir pada 19 November 1866. Ia mewarisi bakat usaha dan kekayaan senilai 17,5 juta gulden dari ayahnya, Oei Tjie Sien, pada 1890. Usaha keluarga Oei bernaung di bawah bendera kongsi dagang Kian Gwan. Semula, usahanya berfokus pada karet, kapas, gambir, tapioka, dan kopi. Kemudian, dengan nama Oei Tiong Ham Concern (OTHC), bisnisnya berkembang ke jasa ekspedisi, kayu, properti, hingga opium.
Ketika terjadi krisis gula pada 1880 dan banyak pabrik gula di Jawa Timur yang berutang kepadanya tak mampu membayar, Tiong Ham menguasai pabrik-pabrik gula itu. Transaksi tersebut terjadi karena ia menerapkan kontrak bisnis yang tergolong langka di kalangan pengusaha Cina masa itu. Dengan kontrak itu, ia memiliki kekuatan hukum untuk menguasai aset pihak pengutang yang gagal bayar.
Tiong Ham pun menyandang gelar "raja gula". OTHC tercatat memiliki aneka properti, pabrik, bank, saham, dan armada kapal. Cabang bisnis dan asetnya bukan hanya di Jawa, melainkan juga menyebar hingga Singapura, Bangkok, Hong Kong, Shanghai, London, dan New York.
Di sejumlah kota dunia itu, ia memiliki rumah mewah pribadi. Salah satunya, Tiong Ham membeli bangunan di Beijing bekas istana abad ke-17, dengan ratusan kamar seharga US$ 100.000, plus US$ 150.000 untuk dekorasinya.
Pada awal abad ke-20, laba OTHC mencapai 18 juta gulden dan kekayaan Tiong Ham sampai 200 juta gulden. Ia pun disebut sebagai orang terkaya dan pendiri perusahaan multinasional pertama di Asia Tenggara.
Di luar urusan bisnis, ia punya akses luas ke berbagai pihak. Ia diangkat menjadi pemimpin Tionghoa di Semarang, Mayor de Chineezen, oleh gubernur jenderal Belanda. Atas upaya hukum kepada pihak otoritas kolonial pula, pada 1904, ia menjadi orang Tionghoa pertama di Semarang yang memotong thaocang atau kuncir rambut dan berpakaian jas ala Barat. Ia tak menggunakan jasa bodyguard, tapi membayar para bandit lokal untuk keamanan diri dan keluarganya.
Tiong Ham memiliki seorang istri, Geo Bing Nio, dan 18 selir. Anaknya ada 42 orang, tapi yang paling disayang adalah putri keduanya, Oei Hui Lan. Kalau ingin sesuatu, Hui Lan tinggal mengambilnya dan pemilik toko akan menagih kepada sang ayah. Ia pun menghadiahi putrinya ini rumah dengan 40 kamar tidur dan kolam renang ala Eropa di Singapura.
Sang raja gula meninggal di Singapura, 6 Juni 1924. Meski disebut karena serangan jantung, Hui Lan curiga, ayahnya diracun Lucy Hoo, selir yang menemani hari-hari terakhir Tiong Ham. Pernah dikuburkan di Semarang, makam Tiong Ham dibongkar dan tulangnya diabukan di Singapura pada 1975. Nama Oei Tiong Ham lalu diabadikan sebagai nama jalan di sana.
Sepeninggal Tiong Ham, hartanya dibagikan kepada istri, gundik, dan anak-anaknya. OTHC diambil alih pemerintah melalui keputusan Pengadilan Ekonomi Semarang Nomor 32/1561 EK.S pada 10 Juli 1961 dan diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 5/Kr/K/1963 pada 27 April 1963. OTHC diubah menjadi PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional (PPEN) Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) pada 1964, kemudian menjadi PT RNI pada 2001.
Sebagian besar peninggalan Tiong Ham telah dihancurkan, seperti gudang di Jalan Pedamaran, Kampung Tamtin, Pasar Johar, Semarang. Bangunan ini dirobohkan dua tahun silam. Saat Gatra bertandang ke sana, Senin pekan lalu, tidak ada lagi sisa bangunan lama. Di lokasi padat penduduk, kumuh, dan becek itu telah berdiri petak-petak rumah 3 x 3 meter dengan lebar jalan tak sampai satu meter dan berimpitan dengan bangunan di sebelahnya.
Bangunan yang berusia sekitar satu abad itu dihancurkan karena rusak parah dan membahayakan penghuni. Warga setempat, Paiman, 60 tahun, tak tahu-menahu sejarah, status, atau ahli waris gudang dan lahan tersebut. "Memang tadinya di situ bangunan kuno," katanya.
Arif Koes Hernawan
Menelusuri Warisan Sang Raja Gula
Tercatat sebagai konglomerat pertama Asia, Oei Tiong Ham meninggalkan banyak warisan di kota Semarang. Dua di antaranya adalah bangunan yang dikenal dengan nama Istana Gergaji dan Gedong Dhuwur. Berbeda dari Istana Gergaji yang kini berubah nama menjadi Bernice Castle, seiring dengan peralihan kepemilikannya, Gedong Dhuwur sangat tidak terawat. Wartawan Gatra Arif Koes Hernawan menyambangi warisan sang raja gula pada pekan ketiga Juni lalu. Berikut penuturannya.
Gedung kuno itu bukan tanpa alasan disebut sebagai istana. Halamannya luas dan dari kejauhan tampak bangunan persegi nan simetris itu demikian kokoh. Arsitektur gedung warna putih yang menghadap ke barat itu bergaya Corinthian ala bangunan Eropa, ditandai dengan delapan pilar besar --berhiasan ukiran kayu di bagian atasnya-- di teras bangunan. Antara halaman berkanopi dan teras gedung dipisahkan tangga dan diapit jambangan ukuran besar.
Ada tiga pintu dan empat jendela kayu di bagian depan gedung itu. Semua ramping memanjang dan berdaun ganda. Khusus di pintu dan jendela depan, dijumpai ukiran tipis yang tidak ditemui di bagian lain rumah itu. Ukiran ini berupa empat garis lengkung yang saling bertemu dengan lingkaran di bagian tengah dan tanda panah di atasnya, beserta enam titik di bagian kanan dan kiri. Sekilas terbentuk inisial "OTH", yang menandai pemilik gedung itu.
Selamat datang di istana Oei Tiong Ham! Sesuai dengan nama kampung di sana, gedung itu disebut Istana Gergaji. Warga menyebutnya pula sebagai Istana Balekambang dan Kebon Rojo, sesuai dengan gazebo-gazebo di atas air dan kebun binatang yang pernah ada di sana.
Bangunan di Jalan Kyai Saleh 12-14, Mugassari, Semarang, itu adalah satu dari segelintir aset Tiong Ham yang masih tersisa dan terawat baik. Modelnya menunjukkan cita rasa mewah mendiang "raja gula" berkekayaan 200 juta gulden tersebut. Pada masanya, luas area gedung itu 9,2 hektare, dengan 200 ruangan dan menjadi bagian kompleks kawasan milik Tiong Ham sekitar 81 hektare. Menurut catatan pemilik terakhir, gedung itu berada pada lahan seluas 7.560 meter persegi.
Ketika pintu depan dibuka, tampak ruang utama berupa ruang lapang tanpa sekat. Sisi kanan dan kiri dihiasi lukisan sepasang bangsawan Victoria berukuran besar. Terdapat pula dua lampu gantung dan beberapa lampu dinding kecil berornamen Cupid. Lukisan, lampu, dan semua ornamen merupakan barang baru milik pengelolanya kini, bukan asli dari zaman Tiong Ham.
Ada lima pintu di sisi kanan dan kiri ruang utama yang berhadapan dan sejajar. Pintu ini masing-masing menghubungkan ruang samping, teras, dan kanopi kayu ke pavilyun. Di ruang samping dibuat tiga bilik toilet. Di sampingnya lagi, pintu mengarah ke teras kecil dengan terop kayudan tangga kecil. Sisi ujung memiliki dua pintu yang mengapit teralis besi membatasi ruang belakang. Ruangan ini juga tanpa sekat, dengan pintu dan jendela dari kaca nako.
Awalnya Milik Hoo Yam Loo
Dua bangunan sayap atau pavilyun memanjang ke timur dan terdiri dari beberapa ruang. Antara lain digunakan untuk ruang kantor, perpustakaan, dan kamar-kamar. Nah, di ruang berikutnya terdapat meja marmer dan kursi kayu. Ada empat lukisan kecil berisi panorama kota-kota di Eropa.
Yang mencolok dari ruang ini adalah kolam persegi dengan tegel berornamen warna biru. Kolam disekat menjadi dua bagian. Pada bagian kecil, terdapat keran air. Pada bagian besar, berdiri patung perempuan menuang guci. Patung dan kolam itu tampak kotor dan berdebu. Konon, inilah bak mandi Oei Tiong Ham.
Pavilyun selatan juga terdiri dari beberapa ruang. Bagian ini lebih asri, bersih, dan terawat. Di setiap teras ruang diletakkan bangku kayu. Ruang-ruang ini pernah digunakan sebagai kelas kampus swasta bersama bangunan baru tingkat dua di sisi ujung timur kompleks ini.
Persis di tengah sejumlah bangunan itu dibuat taman ketika dilakukan renovasi, berupa kolam air dengan hiasan patung kecil dan bangku-bangku. Namun taman ini juga kurang terawat, airnya tak mengalir dan kotor, dan tanaman di sekitarnya nyaris tumbuh liar. Toh, suasana di bagian belakang istana ini begitu hijau dengan pohon-pohon tinggi nan rimbun, seperti pinus, palem, dan kelengkeng.
Istana ini semula milik Hoo Yam Loo, pengusaha Tionghoa yang mendapat hak istimewa untuk memonopoli perdagangan candu. Namun ia akhirnya rugi besar hingga usahanya bangkrut. Sejak itu, harta Hoo disita pengadilan untuk dilelang, termasuk gedung besar miliknya tersebut. Singkat kata, Oei Tjie Sin, ayah Tiong Ham, memenangkan lelang rumah Hoo itu pada 1883.
Ada Ruang Khusus Berpendingin
Pada usia 22 tahun, Tiong Ham menempati rumah tersebut. Keputusan ini tergolong berani ketika itu. Soalnya, pemerintah kolonial Belanda masih menerapkanWijkenstelsel. Ketentuan ini mengatur orang-orang Tionghoa untuk tinggal di wilayah tertentu sesuai dengan aturan pihak kolonial. Mereka dilarang membangun rumah dan tinggal di luar kawasan itu. Aturan inilah yang melahirkan kawasan Pecinan seperti yang kita kenal saat ini.
Sementara itu, gedung bekas milik Hoo tersebut berada di permukiman Belanda. Untuk memuluskan keinginannya tinggal di situ, Tiong Ham sampai menyewa pengacara Belanda kondang guna mengurus legalitasnya. Sang raja gula juga memanfaatkan kedekatannya dengan gubernur jenderal waktu itu untuk mendapat izin tinggal di rumah barunya tersebut.
Setelah menempati gedung itu, Tiong Ham melapisi lantai dengan ubin marmer yang didatangkan dari Italia. Karakter Tionghoa tampak pada gerbang di pelataran gedung. Juga pada hiasan seperti lukisan, sulaman, dan kaligrafi aksara Cina. Sedangkan untuk perabotan, Tiong Ham menyukai mebel-mebel dari kayu, rotan, dan bambu.
Sejarawan Tionghoa asal Semarang, Jongki Tio, mengungkap keunikan bangunan itu dalam buku kecil Istana Oei Tiong Ham Balekambang Semarang. Di situ ada ruang khusus untuk menyimpan daging, sayur, dan ikan yang memerlukan pendingin agar tahan lama. "Saat itu belum dikenal lemari es sehingga sebagai gantinya dipakai balok-balok es yang tiap kali harus diganti. Di ruang tersebut dibuat pula saluran-saluran khusus untuk mengalirkan air dari es yang meleleh," tulisnya.
Salah satu yang menarik, istana ini dilengkapi pula dengan kebun binatang mini. Koleksi hewannya menjadi tujuan wisata warga Semarang pada perayaan Imlek dan Idul Fitri ketika itu. Tak terkecuali gubernur jenderal Belanda dan pejabat kolonial.
Pernah Dikunjungi Raja Siam
Taman istana ditumbuhi berbagai bunga dan terdapat kolam-kolam ikan. Di atas kolam didirikan gazebo untuk beristirahat. Nama Balekambang muncul dari bangunan ini. Bale berarti balai-balai atau saung dan kambang berarti terapung di permukaan air. Taman ini dilengkapi dengan gunung buatan dari karang dan ratusan patung. Satu-satunya patung yang tersisa saat ini, menurut pengelola gedung, adalah patung malaikat warna putih di pelataran belakang. Patung ini tertutup tanaman liar dan berada di dekat bangku dan kolam yang dibuat saat renovasi tahun 2003.
Keindahan taman pada masa kejayaan Tiong Ham tidak berhenti sampai di situ. Ada tempat pentas untuk pemain musik Tionghoa dan gamelan Jawa beserta sinden dan penari. Apalagi, panorama alam sekitar memesona ketika itu. Istana ini menjadi bagian bukit dari sisi selatan --yang kini menjadi kompleks pemakaman umum Bergota-- hingga ke arah timur gedung yang telah berubah menjadi permukiman padat, termasuk bangunan Polda Jawa Tengah. Untuk mempercantik istana, lampion-lampion impor dari Tiongkok dinyalakan pada malam hari. Jalan di depan istana pun menjadi ramai serupa pasar.
Keindahan istana ini tersiar sampai ke luar negeri. Salah satu turis asing yang berkunjung adalah Raja Siam. Para penumpang kapal yang sedang berlabuh di Semarang juga menyempatkan diri berekreasi ke sini. Dan tamu yang menginap dijamu di kamar-kamar pavilyun.
Untuk mengurusi rumah tangga istananya, Tiong Ham mempekerjakan sekitar 40 orang. Uniknya, seperti diungkapkan Jongki Tio, di antara karyawan Tiong Ham, terdapat orang-orang Belanda. Ketika itu, masih sangat sedikit orang bule yang bekerja pada orang Asia. Untuk mengatur seluruh pekerja itu, harus diangkat kepala staf yang berwibawa, yang disebut Mayordomo.
Jumlah itu belum termasuk pekerja bagian kebun yang mencapai sekitar 50 orang. Kepala urusan kebun dipercayakan kepada ahli perkebunan dan tanaman dari Sumatera. Para pekerja tinggal di rumah-rumah di bagian belakang kebun istana. Luas rumah-rumah itu sesuai dengan pangkat mereka. Boleh jadi, inilah cikal bakal Kampung Balekambang dan Gergaji saat ini.
Dibeli dalam Kondisi Memprihatinkan
Sepeninggal Tiong Ham pada 1924, kompleks istana diwariskan kepada anaknya, Oei Tjong Hauw. Pada hari-hari raya, istana ini masih bisa dikunjungi warga. Tapi, sejak keputusan penyitaan aset Tiong Ham, istana ini menjadi milik pemerintah. Secara de facto, istana ini dikuasai Kodam Diponegoro dan dijadikan Balai Prajurit.
Pada 2003, pengusaha Budi Purnomo alias Hoo Liem membeli Balai Prajurit. Sebelum Budi, konon ada tiga hingga empat pihak yang tertarik pada bangunan itu, tapi transaksi mereka selalu batal. Ayah Budi, mendiang Hoo Liong Tiauw, yang berkeras atas pembelian karena tertarik dengan bangunan kuno dan bersejarah itu. Nilai transaksinya tidak diketahui secara persis.
Adik ipar Hoo Liem yang dipercaya menjadi pengelola gedung, Rini Hayati, bercerita tentang kondisi istana ketika itu. "Nyaris hancur," ujarnya saat ditemui Gatra, beberapa waktu lalu. Cat dinding sebagian besar tembok mengelupas sehingga tampak lapisan dalam yang hijau tua. Beberapa bagian tembok keropos dan sejumlah plafon atap rusak. Kaca-kaca jendela juga nyaris semuanya pecah.
Lucunya, ubin-ubin marmer, yang ketika transaksi masih utuh, saat didatangi dan ditempati, sudah hilang dicongkel. Alhasil, seluruh bagian dasar gedung hanya berupa plester. Bangunan juga kosong melompong tanpa menyisakan perabot, lukisan, atau ornamen satu pun.
Bagian luar rumah tak kalah memprihatinkan. Ornamen kayu pada lorong ke pavilyun patah. Pelataran gedung, terutama di sisi belakang, subur oleh alang-alang. Untunglah, kualitas seluruh kusen pintu dan jendela masih oke. Hanya besi pada gerendel yang rusak. "Jadi, tetap lebih banyak yang rusak," katanya.
Untuk itu, renovasi pun dilakukan selama tiga tahun. Prosesnya berlangsung menyeluruh dan sedetail mungkin. Dindingnya dicat ulang, lantai dilapisi tegel marmer asal Tulungagung, sampai perbaikan plafon yang jebol. Pola ornamen kayu di koridor penghubung ke pavilyun dibuat ulang satu per satu dengan meniru ornamen yang masih utuh. Kaca-kaca jendela dengan hiasan motif yang telah pecah atau hilang juga diganti dengan kaca yang dibuat sama persis. Simpai-simpai besi keemasan penguat plafon atap dikumpulkan dan dipasang ulang.
Gedung utama sedikit berubah. Dinding pembatas dan dua pintu bagian tengah ruang dijebol, sehingga dua ruang gedung utama menyatu dan menjadi aula yang sangat lebar. Perubahan gedung utama diminimalkan karena dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Bangunan Cagar Budaya. Dalam keterangan rencana kota, bangunan utama tidak boleh dipugar tanpa seizin wali kota. Selebihnya tidak ada perubahan mencolok.
Dimanfaatkan untuk Beragam Kegiatan
Seiring dengan renovasi itu, Hoo Liem membangun gedung dua lantai baru di bagian belakang. Sejak 2004, gedung itu digunakan untuk kampus Sekolah Tinggi Manajemen Infomatika dan Komputer (STMIK) Provisi hingga berakhir dua tahun silam. Dalam kurun waktu itu, Hoo Liem menjadi salah satu penyandang dana di yayasan kampus tersebut. Selain itu, ruang di pavilyun sisi utara digunakan sebagai tempat kursus bahasa asing, Study World, dan butik pakaian.
Kini gedung itu bernama Bernice Castle. Namanya diambil dari nama baptis istri Hoo Liem, Bernice Leowita Sandjaja. Keindahan arsitektur lawas dan suasana asri menjadi daya tarik gedung itu untuk disewakan sebagai ruang pertemuan dan resepsi, dengan biaya sewa Rp 23 juta.
Tidak sedikit pula yang tertarik untuk mengabadikan momen di sana. Terutama pasangan yang hendak menikah dan melakukan foto pre-wedding. Apalagi, pada musim nikah seperti dua bulan belakangan ini, rata-rata ada tiga hingga empat pemotretan. Lokasi favorit biasanya di gedung utama, selasar ruang pavilyun, dan taman halaman belakang. Pengelola mematok tarif foto Rp 500.000 per tiga jam.
Ruang bagian belakang gedung utama disewakan untuk sekolah balet anak-anak di sore hari. Pelataran depan dibuka untuk lahan parkir usaha mobil sewa, sedangkan halaman belakang untuk parkir mobil-mobil yang dijual. Pelataran gedung baru sekali digunakan untuk acara musik yang menggaet sponsor, beberapa bulan lalu. Sedangkan kegiatan sosial, seperti latihan tari anak yatim piatu dan kelompok bela diri, diizinkan di teras gedung secara cuma-cuma.
Berbagai langkah tersebut dilakukan demi menopang pengelolaan gedung. Maklum saja, ongkos operasional dan pemeliharaan gedung ini tidak sedikit. Rini enggan membeberkan jumlahnya. "Pokoknya besar," kata dia sambil tersenyum. Kabarnya, untuk listrik saja mencapai Rp 3 juta per bulan. Untuk pekerja, Bernic Castle memiliki dua penjaga dan tiga tukang bersih-bersih.
Rini pun menuturkan, "pemilik asli" istana ini pernah bertandang beberapa kali sekadar menengok peninggalan leluhur mereka. Terakhir kali, pada Juli 2011, dua anak termuda Tiong Ham dari istrinya yang terakhir, Lucy Hoo, berkunjung. Mereka adalah Oei Tjong Bo, kakek 90 tahun, dan Lovy, perempuan 91 tahun. "Mereka sangat kagum, hampir tidak percaya istananya masih berdiri kokoh, bahkan jauh lebih indah interiornya. Semula, mereka mengira istananya sudah hampir ambruk atau rusak parah," ungkapnya.
Saat Gatra masih berada di istana ini, ada empat orang yang datang mengendarai mobil berpelat nomor Solo. Seorang di antaranya perempuan paruh baya, yang ternyata Imelda Sundoro, pemilik Sun Motor, yang kini getol mengembangkan jaringan properti dan hotel berbintang di Solo, Semarang, dan Yogyakarta.
Mengenakan setelah hijau tua, ia tampak antusias menyusuri tiap bagian gedung. Tiap ruang yang terkunci diminta untuk dibuka. Beberapa bagian kompleks gedung, seperti halaman belakang, diukur. Setiap detail ditanyakan keasliannya kepada penjaga gedung, seperti tegel lantai, lukisan, lampu, hingga tempat mandi sang raja gula.
Ia sudah punya rencana untuk gedung itu. Misalnya, menjadikan gedung utama sebagai resto dan membangun tempat parkir bawah tanah sehingga terdapat akses ke gedung utama. "Biasanya orang malas jalan jauh dari mobilnya," katanya. Namun ia masih belum mengerti bagian mana yang boleh atau tidak boleh dibongkar. "Kalau boleh nanti jadinya seperti ini, kalau tidak boleh seperti itu," katanya lagi kepada tiga laki-laki yang menyertainya.
Secara terpisah, Rini menjelaskan bahwa istana itu akan dijual. Harga yang ditawarkan Rp 60 milyar. Hoo Liem berencana menggunakan hasil dana penjualan itu untuk mengembangkan usaha ban karet di Jawa Barat. Sejumlah pengusaha, beberapa dari Semarang, seperti pemilik merek jamu atau minuman kemasan, pernah berminat. "Ibu Imelda juga masih survei-survei, belum deal," ujar dia.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sarang Garuda Bagai Tak Bertuan
Sambil menggendong bayi, seorang ibu duduk tenang. Di belakangnya, perempuan lain asyik menelisik rambut si ibu: lagi petan alias mencari kutu. Keduanya seolah tak peduli dengan suasana sekitar yang begitu hiruk-pikuk pada Sabtu petang pekan ketiga Juni lalu.
Di seberang mereka, para bocah berlarian atau bermain dengan sepedanya. Para bapak duduk-duduk, ditemani secangkir kopi dan rokok kretek, sambil mengobrol ngalor-ngidul. Tak jauh dari situ, seorang ibu sibuk mencuci baju, sedangkan suaminya memandikan sang putri. Lalu ada pemuda menggeber sepeda motor dengan raungan keras. Tampak pula seorang pria yang tengah memberi makan ayam.
Dua perempuan yang sedang petan itu duduk di tangga sebuah rumah kuno, berupa bangunan dua tingkat yang disebut warga sebagai Gedong Dhuwur alias Gedung Tinggi. Inilah satu lagi bangunan jejak Oei Tiong Ham di Semarang, selain Istana Gergaji. Letaknya di kawasan padat penduduk di Pamularsih Dalam atau Simongan. Dahulu, kawasan ini disebut Penggiling karena menjadi tempat penggilingan tebu.
Kondisi kompleks bangunan peninggalan Tiong Ham yang satu ini jauh berbeda dibandingkan dengan kemegahan Istana Gergaji. Sebutan "asrama" sudah menjelaskan situasi itu. Bangunan utamanya terdiri dari dua lantai. Bagian dasarnya telah disekat-sekat sebagai rumah warga, sedangkan lantai atas dibiarkan kosong tak terurus.
Gedung ini aslinya menghadap selatan. Jejak yang masih dapat diamati justru di bagian belakang rumah, yakni di sisi utara. Empat pilar bulat dari batu di teras tampak masih kokoh. Pada bagian teras yang mencakup tiga pilar telah dipasang papan kayu untuk rumah warga.
Lantai dasar semula terbagi menjadi lima ruang dengan luas berbeda. Warga lalu membuat sekat-sekat di bagian dalam bangunan utama ini. Sehingga ruangan dalam gedung berukuran sekitar 20 x 12 meter ini dapat dibagi dan ditinggali keluarga berbeda. Beberapa bagian dinding luar mengelupas. Sebagian dibiarkan sehingga terlihat batu batanya. Sebagian lagi ditambal alakadarnya.
Sisi depan bangunan yang menghadap selatan sudah tak terlihat wujud aslinya. Kondisinya semrawut dan terhalang bangunan-bangunan tambahan. Antara lain kamar mandi, tempat cuci pakaian, hingga kandang ayam. Seng-seng dipasang sebagai pagar dan jendela-jendela bangunan asli, ditambahi kanopi dengan kayu seadanya. Berbagai perabot dan perkakas teronggok begitu saja di teras.
Padahal, dahulu bagian ini menjadi halaman depan untuk keindahan rumah sang raja gula dengan adanya kolam teratai yang selebar gedung utama. Kolam ini sama sekali tak berbekas karena persis di depan bangunan, hingga ke bawah bagian bukit, padat oleh rumah warga.
Kondisi lantai II gedung utama lebih mengenaskan. Setelah menaiki tangga besi di sisi timur rumah, begitu menginjak di lantai atas, ada bumper mobil yang dijadikan penadah air hujan. Ini sudut koridor timur dan selatan. Koridor atau serambi mengelilingi seluruh ruangan. Koridor selatan hanya diisi bangku dan perkakas pertukangan.
Lantai terbuat dari kayu. Konon, dahulu semua lantai kayu di lanta II ini berlapis aluminium sehingga kokoh untuk atap bangunan bawahnya. Kini lantai di koridor utara dilapisi ter sehingga masih kuat. Sedangkan lantai kayu di serambi sisi timur dan selatan sudah lapuk. Alhasil, bagian tersebut tak bisa dilalui. Di serambi timur pun, tampak beberapa bagian lantai kayu yang ambles.
Terkisah, Bambang Wijanarko, 51 tahun, masih duduk di kelas I SD ketika diajak orangtuanya menempati rumah baru. Ketika itu, awal 1970-an, sang bapak, Soekisno, disebut sebagai Ajendam, tanpa tahu kepanjangan dan pangkatnya, di Kodam IV Diponegoro (kini Kodam VII). Rumah baru itu, ya, Gedong Dhuwur ini.
Sang ayah dan rekan-rekannya datang dari kesatuan berbeda. Tanpa surat atau dokumen apa pun, mereka menempati Gedong Dhuwur dan membagi ruang di lantai dasar untuk tempat tinggal. "Tahu sendiri siapa yang berkuasa waktu itu," kata Bambang, yang dipercaya warga menjadi juru bicara asrama.
Alokasi pembagian lantai Gedong Dhuwur juga kurang jelas. Bambang tak tahu mengapa, misalnya, sang ayah mendapat jatah paling luas, yaitu seluruh bagian lantai II. Meski tak tinggal di situ, sehari-hari ia bekerja dengan membuka bengkel dempul di lantai atas Gedong Dhuwur. "Dulu ini kantornya konglomerat Oei Tiong Ham," tutur warga Pasadena, Semarang Timur, itu.
"Waktu itu, Oei bisa melihat langsung kapal-kapal dagangnya datang," katanya bak sejarawan sambil melayangkan pandangan ke arah utara. Sembari menyusuri tiap ruang di lanta II, ia mengingatkan untuk berjalan pelan-pelan. Selain karena kayunya sudah lapuk, juga bisa mengganggu penghuni di lantai dasar.
Pada 1970-an, Bambang mengenang, artefak peninggalanTiong Ham masih tersisa. Pada masa awal tinggal di Gedong Dhuwur, Bambang ingat, terdapat sepasang patung singa di pintu utama di sisi selatan gedung. "Konon, jumlahnya semula ada enam," ujarnya.
Dari cerita-cerita yang beredar, belakangan Bambang tahu, patung singa itu unik. Bukan patung singa ala Tionghoa yang dijumpai di banyak kuburanCina, melainkan singa gaya Eropa. Ada pula yang menyebut patung gaya Yahudi. Ciri figurnya tidak seimajinatif singa Tiongoa, tapi lebih realis dengan surai-surai yang tampak jelas. Toh, kata Bambang, sepasang singa itu raib digondol maling.
Dari sisa-sisa kekayaan Oei, tidak ada yang lebih heboh saat warga menemukan sejumlah guci dan koinkuno di lahan itu. Ada warga yang menemukan jambangan saat hendak membuat fondasi rumah. Isinya koin berbahan tembaga dengan angka tahun 1700-an. "Masih ada lambang dan tulisan V-O-C," kata Bambang seraya mengeja. Karena tak tahu nilainya, warga asal saja menjual Rp 5 per koin saat itu.
Semua peninggalan itu tak berbekas. Menurut Bambang, benda-benda itu tidak diketahui lagi rimbanya. Hilangnya sejumlah bagian bangunan juga karena dipugar sewaktu ditinggali warga. Misalnya, gapura di pintu utama di sisi selatan gedung dibongkar pada akhir 1970-an.
Sekitar 20 tahun silam, beberapa orang Tionghoa dari Belanda dan Singapura yang mengaku kerabat dan karyawan Tiong Ham datang bertandang. Seorang dari mereka yang mengaku stafnya bahkan mengatakan, gedung ini memiliki bungker. "Kalau benar ada, ya, jadi rahasia mereka yang pernah di sini," tutur Bambang.
Kunjungan keluarga dan karyawan Oei itu, bagi Bambang, tak lebih dari sekadar untuk nostalgia. Soalnya, bangunan ini telah ditempati sekitar 40 kepala keluarga. Mereka adalah keturunan tentara atau pendatang yang membeli petak rumah tersebut. Padahal, tak ada catatan resmi satu pun atas kepemilikan bangunan ini. Hingga kini, pemda dan badan yang berwenang untuk cagar budaya tak mengurusi situs ini. "Bangunan ini tak bertuan," ujar Bambang.
Sejauh ini, bukannya tak ada kajian tentang Gedong Dhuwur. Setidaknya, Ndaru Hario Sutaji dari Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro, Semarang, pernah menyusun tesis tentang bangunan itu pada 2005. Riset berjudul "Tata Ruang Gedong Dhuwur di Kawasan Bersejarah Simongan Semarang" tersebut mengungkapkan, berdasarkan arsip dan dokumentasi, kompleks bangunan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu 1909-1965.
Menurut Ndaru, gedung yang awalnya berjuluk "Sarang Garuda" ini memiliki arsitektur Indisch. Langgam bangunan ini lazim dibangun pihak kolonial Belanda. Tapi, berbeda dari umumnya gedung Indisch, tata ruangnya mendapat pengaruh arsitektur Cina dengan perwujudan fengshui pada peletakan unsur-unsur bangunan.
Misalnya, arah hadap bangunan dan pintu utama ke sisi selatan yang dipercaya sebagai sumber kebaikan. Selain itu, juga menghindari angin dingin dari Laut Cina di utara. Posisi Gedong Dhuwur yang menghadap lembah dan lokasi perbukitan berbentuk tapal kuda berkaitan dengan aliran kosmik chi dalam fengshui.
Gedong Dhuwur juga mempertimbangkan keberadaan kompleks situs Kelenteng Sam Po Kong di Gedong Batu. Dari kedua situs ini, masing-masing bangunan terlihat jelas.
Secara keseluruhan, tiap bangunan di kompleks Gedong Dhuwur merupakan kombinasi karakter Indisch, Cina, dan Jawa, dengan memadukan fungsi ruang tertutup dan terbuka. "Sejarah Gedong Dhuwur merupakan kekayaan budaya masa lalu bagi Semarang yang layak dipahami dan diapresiasi. Rancangannya yang konstektual dengan Gedong Batu dan arsitektur pada zamannya merupakan kunci guna mempertahankan kelestariannya," ungkap Ndaru dalam rekomendasi penelitiannya.
Arif Koes Hernawan
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kisah Singkat Si Raja Gula
Oei Tiong Ham lahir pada 19 November 1866. Ia mewarisi bakat usaha dan kekayaan senilai 17,5 juta gulden dari ayahnya, Oei Tjie Sien, pada 1890. Usaha keluarga Oei bernaung di bawah bendera kongsi dagang Kian Gwan. Semula, usahanya berfokus pada karet, kapas, gambir, tapioka, dan kopi. Kemudian, dengan nama Oei Tiong Ham Concern (OTHC), bisnisnya berkembang ke jasa ekspedisi, kayu, properti, hingga opium.
Ketika terjadi krisis gula pada 1880 dan banyak pabrik gula di Jawa Timur yang berutang kepadanya tak mampu membayar, Tiong Ham menguasai pabrik-pabrik gula itu. Transaksi tersebut terjadi karena ia menerapkan kontrak bisnis yang tergolong langka di kalangan pengusaha Cina masa itu. Dengan kontrak itu, ia memiliki kekuatan hukum untuk menguasai aset pihak pengutang yang gagal bayar.
Tiong Ham pun menyandang gelar "raja gula". OTHC tercatat memiliki aneka properti, pabrik, bank, saham, dan armada kapal. Cabang bisnis dan asetnya bukan hanya di Jawa, melainkan juga menyebar hingga Singapura, Bangkok, Hong Kong, Shanghai, London, dan New York.
Di sejumlah kota dunia itu, ia memiliki rumah mewah pribadi. Salah satunya, Tiong Ham membeli bangunan di Beijing bekas istana abad ke-17, dengan ratusan kamar seharga US$ 100.000, plus US$ 150.000 untuk dekorasinya.
Pada awal abad ke-20, laba OTHC mencapai 18 juta gulden dan kekayaan Tiong Ham sampai 200 juta gulden. Ia pun disebut sebagai orang terkaya dan pendiri perusahaan multinasional pertama di Asia Tenggara.
Di luar urusan bisnis, ia punya akses luas ke berbagai pihak. Ia diangkat menjadi pemimpin Tionghoa di Semarang, Mayor de Chineezen, oleh gubernur jenderal Belanda. Atas upaya hukum kepada pihak otoritas kolonial pula, pada 1904, ia menjadi orang Tionghoa pertama di Semarang yang memotong thaocang atau kuncir rambut dan berpakaian jas ala Barat. Ia tak menggunakan jasa bodyguard, tapi membayar para bandit lokal untuk keamanan diri dan keluarganya.
Tiong Ham memiliki seorang istri, Geo Bing Nio, dan 18 selir. Anaknya ada 42 orang, tapi yang paling disayang adalah putri keduanya, Oei Hui Lan. Kalau ingin sesuatu, Hui Lan tinggal mengambilnya dan pemilik toko akan menagih kepada sang ayah. Ia pun menghadiahi putrinya ini rumah dengan 40 kamar tidur dan kolam renang ala Eropa di Singapura.
Sang raja gula meninggal di Singapura, 6 Juni 1924. Meski disebut karena serangan jantung, Hui Lan curiga, ayahnya diracun Lucy Hoo, selir yang menemani hari-hari terakhir Tiong Ham. Pernah dikuburkan di Semarang, makam Tiong Ham dibongkar dan tulangnya diabukan di Singapura pada 1975. Nama Oei Tiong Ham lalu diabadikan sebagai nama jalan di sana.
Sepeninggal Tiong Ham, hartanya dibagikan kepada istri, gundik, dan anak-anaknya. OTHC diambil alih pemerintah melalui keputusan Pengadilan Ekonomi Semarang Nomor 32/1561 EK.S pada 10 Juli 1961 dan diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 5/Kr/K/1963 pada 27 April 1963. OTHC diubah menjadi PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional (PPEN) Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) pada 1964, kemudian menjadi PT RNI pada 2001.
Sebagian besar peninggalan Tiong Ham telah dihancurkan, seperti gudang di Jalan Pedamaran, Kampung Tamtin, Pasar Johar, Semarang. Bangunan ini dirobohkan dua tahun silam. Saat Gatra bertandang ke sana, Senin pekan lalu, tidak ada lagi sisa bangunan lama. Di lokasi padat penduduk, kumuh, dan becek itu telah berdiri petak-petak rumah 3 x 3 meter dengan lebar jalan tak sampai satu meter dan berimpitan dengan bangunan di sebelahnya.
Bangunan yang berusia sekitar satu abad itu dihancurkan karena rusak parah dan membahayakan penghuni. Warga setempat, Paiman, 60 tahun, tak tahu-menahu sejarah, status, atau ahli waris gudang dan lahan tersebut. "Memang tadinya di situ bangunan kuno," katanya.
Arif Koes Hernawan
Tuesday, July 25, 2017
SAIF AND BRITISH ELITE
https://www.theguardian.com/world/2011/may/16/saif-gaddafi-dictator-son-british-high-societySaif
Saif al-Islam's top British contacts
Peter Mandelson
The Labour peer reportedly met the Libyan leader's son in
summer 2009 at the Rothschild family home on Corfu. In November that year Lord
Mandelson spent time in Saif's company during a shooting weekend at Waddesdon
Manor, the Rothschild's home in Buckinghamshire.
Tony Blair
Described by Saif al-Islam as "a personal family
friend", Saif claimed to have met the then prime minister for the first
time in 2006 at Downing Street and also saw him several times in Libya. Blair
flatly denied having any relationship with the Libyan Investment Authority,
part of Saif's effort to generate new sources of income for a country almost
completely dependent on hydrocarbons for cash.
Anthony Giddens
Eminent sociologist and former director of the London School
of Economics and noted theorist of the Third Way. Giddens met Saif in 2006,
paid two visits to Libya and debated democracy with Gaddafi senior in 2007. The
Gaddafi International Charity and Development Foundation, chaired by Saif,
later donated £1.5m to the LSE's Global Governance research centre, of which it
received $300,000.
Nathaniel Rothschild
Scion of the banking family who gave a party for Saif when
he completed his doctorate on civil society and global governance at the LSE.
In 2009, Saif threw his 37th birthday party at the luxury hotel in Montenegro
where Rothschild was rumored to be one of the guests.
ARM
http://ekonomi.kompas.com/read/2015/01/23/095018326/BRAU.Mulai.Menyita.Aset.Rosan.Roeslani
BRAU Mulai Menyita Aset Rosan Roeslani
Asia Resource Minerals Plc (dulu Bumi Plc) mulai bergerak untuk menyita aset mantan Direktur Utama PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU), Rosan Perkasa Roeslani.
Ini merupakan tindak lanjut dari arbitrase yang dimenangkan oleh ARMS, induk usaha BRAU. Direktur Utama BRAU Amir Sambodo, mengatakan, penasihat hukum ARMS telah meminta konfirmasi atas pemenuhan kewajiban Rosan tersebut.
Namun, belum ada tanggapan. ARMS kemudian memutuskan untuk mendaftarkan keputusan arbitrase yang dilakukan di Singapura itu ke sejumlah negara. Pasalnya, berdasarkan Konvensi New York, keputusan tersebut dapat didaftarkan dan dilaksanakan di lebih dari 150 negara.
Mengacu pada aset-aset yang dimiliki Rosan di sejumlah negara, maka ARMS pun mendaftarkan keputusan arbitrase di Indonesia, Perancis, Amerika Serikat, dan Indonesia.
Amir bilang, pihaknya sedang mendaftarkan keputusan arbitrase di singapura. Tindakan ini dilakukan guna memungkinkan pihaknya menyita aset-aset Rosan di negeri singa ini.
Aset-aset tersebut berupa saham di Recapital Investments Pte Ltd. Rosan menguasai 99 persen atas saham Recapital. ARMS juga tengah mendaftarkan keputusan arbitrase di Perancis dan Luxemburg.
"Hal ini akan memungkinkan penetapan sita jaminan atas dua chateaux yang secara langsung milik Rosan," jelas Amir dalam pernyataan tertulis.
Sita jaminan itu selanjutnya akan menjadi penetapan final. Sehingga, aset-aset tersebut bisa dijual. Lalu, ARMS dan BRAU sedang mendaftarkan petisi konfirmasi di pengadilan Federal AS.
BRAU mengetahui, Rosan memiliki properti berharga di California. Terakhir, keputusan Arbitrase juga didaftarkan di Indonesia. Pasalnya, di sinilah aset-aset Rosan bermuara. Keputusan akan dilaksanakan dengan cara yang sama dengan keputusan yang dikeluarkan pengadilan di Indonesia.
Waktu pelaksanaan keputusan akan bervariasi di setiap wilayah hukum. Tidak hanya itu, hal itu juga ditentukan oleh tindakan Rosan. Apakah ia akan melawan pelaksanaan keputusan itu atau tidak.
"Perseroan menyesalkan Bapak Roeslani tidak menunjukkan tanda-tanda akan memenuhi kewajibannya," kata Amir.
Padahal, lanjut dia, Rosan sudah sepakat, setiap masalah yang timbul akan diselesaikan melalui arbitrase. Adapun, berdasarkan Singapore International Arbitration Centre (SIAC), putusan arbitrase itu bersigar final dan tidak dapatkan banding.
Sekadar mengingatkan, perseteruan ini merupakan buntut dari tudingan Nathanael Rothschild yang menuding ada penggunaan dana tak jelas di BRAU.
Ketika itu, ia mencurigai dana yang diinvestasikan dalam Chateau Asset Management senilai US$ 75 juta. Bumi Plc melakukan investigasi. Ternyata dana yang diperiksa jumlahnya membengkak menjadi 200 juta dollar AS.
Namun, akhirnya disepakati, Rosan membayar dana BRAU yang hilang sebesar 173 juta dollar AS. Keduabelah pihak setuju, pembayaran interim senilai 30 juta dollar AS dilakukan paling lambat 26 Desember 2013. Pembayaran dilakukan dalam bentuk tunai.
Namun, Rosan mangkir dan dinyatakan wanprestasi. BRAU dan Asia Resource kemudian mengajukan tuntutan resmi kepada Rosan. Pembentukan majelis arbitrase telah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku di SIAC pada 24 Desember 2013.
Awalnya Bumi Plc dan BRAU hanya menyeret Rosan melalui penyelesaian arbitrase atas pembayaran interim. Rosan pun memberikan argumen yang memosisikan, ia tidak harus membayar ganti rugi dalam jumlah berapapun.
BRAU kemudian mengajukan tuntuan resmi untuk proses arbitrase atas masalah yang lebih luas. Bukan saja mengenai pembayaran interim, melainkan kewajiban ganti rugi secara keseluruhan.
BRAU tetap minta Rosan membayar 30 juta dollar AS dalam bentuk tunai. Sedangkan sisanya, 143 juta dollar AS, bisa dalam bentuk aset, tunai, atau kombinasi keduanya.
Asal tahu saja, awalnya Rosan berniat membayar ganti rugi berupa tunai dan aset. Adapun aset yang akan diserahkan adalah 49 persen saham ABL dan 600 hektare (ha) lahan milik PT Borneo Prapatan Lestari. Asia Resource tetap pada pendiriannya untuk tidak mengakui penilaian KPMG Corporate Finance Pte Ltd atas ABL.
Pasalnya, Rosan menunjuk KPMG secara sepihak. Sehingga, dinilai tidak representatif. BRAU bersama Asia Resource sudah mulai berperkara dengan Chateau de Bonaban SAS dan Chateau de la Grenerie SAS. Kedua perusahaan yang berdomisili di Perancis ini secara tidak langsung miliki Rosan.
Rosan menguasai kedua perusahaan itu melalui perusahaan induk yang berlokasi di Luxembourg. Perusahaan induk itu bernama RCapital Holding. Rcapital ini dinilai sebagai penerima utama atas keuntungan (ultimate beneficial owner) dua perusahaan Perancis itu. Aset keduanya ditaksir mencapai 15 juta euro. (Amailia Putri Hasniawati)
http://bisnis.liputan6.com/read/2017969/minta-ganti-rugi-asia-resources-mineral-tuntut-rosan-roeslani
Minta Ganti Rugi, Asia Resources Mineral Tuntut Rosan Roeslani
Liputan6.com, Jakarta Manajemen PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) dan Asia Resources Minerals Plc mengajukan tuntutan resmi kepada mantan Direktur Utama PT Berau Coal Energy Tbk Rosan Roeslani pada 20 Januari 2014.
Direktur Utama PT Berau Coal Energi Tbk, Raden Curt Eko Santoso Budianto menuturkan, Rosan Roeslani telah gagal melakukan transfer dana tunai senilai US$ 173 juta. Seharusnya Rosan mengembalikan dana tersebut sesuai perjanjian pemulihan pada 26 Juni 2013. Hingga jatuh tempo, dana US$ 173 juta tersebut tidak dibayar oleh Rosan.
BACA JUGA
Investasi Sektor Migas Menurun
IHSG Berpotensi Melemah, Awasi Saham Pilihan Ini
IHSG Bakal Kembali Menguat
Pembentukan majelis arbitase telah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Singapore International Arbitration Centre (SIAC) pada 24 Desember 2013. Perseroan tidak ingin melakukan transaksi pengalihan saham dari PT Asian Bulk Logistic .
"Rosan Roeslani harus melakukan pembayaran penuh dalam bentuk tunai," ujar Eko dalam keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (4/3/2014).
Perseroan menyatakan, KPMG bukan sebagai penilai independen. Hal itu mengingat Rosan yang telah menunjuk KPMG secara sepihak. Padahal penunjukan penilai independen harus dilakukan bersama-sama sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang terdapat di dalam perjanjian pemulihan. "Saat ini kami sedang menunggu pembelaan Rosan," kata Eko.
Selain itu terkait pemulihan sisa kerugian sebesar US$ 30,67 juta, Perseroan dan Asia Resources Mineral telah memulai proses beracara di Perancis terkait dengan Chateau de Bonaban SAS dan Chateau de la Grenerie SAS. Dua perusahaan Perancis ini secara tidak langsung dimiliki oleh Rosan Roeslani.
Rosan memiliki perusahaan-perusahaan itu melalui suatu perusahaan induk yang berkedudukan di Luxembourg, RCapital Holding, yang kemudian merupakan penerima manfaat utama dari setiap perusahaan Perancis yang tengah digugat oleh Perseroan.
"Biaya untuk memperoleh perusahaan Perancis itu berasal dari dana yang telah disalahgunakan. Perusahaan Perancis itu memiliki aset kurang lebih 15 juta euro," tutur Eko.
Perseroan telah menerima penetapan sita jaminan atas saham yang dimiliki oleh RCapital di perusahaan-perusahaan Perancis tersebut. Saat ini perseroan masih mencari cara-cara lain untuk memperoleh pemulihan atas sisa kerugian tersebut.
Namun di saat yang sama, anak perusahaan Perseroan PT Berau Coal telah mengajukan permohonan untuk pembubaran Chateau. PT Berau Coal, selaku pemegang saham yang memiliki investasi di Chateau meminta pengadilan di Cayman untuk memberhentikan direktur yang sedang menjabat dan menunjuk direktur baru sebagai pengganti. Adapun penetapan arbitrase ini diperkirakan terbit pada September 2014.
"Hal ini dilakukan untuk melakukan penyelidikan atas status investasi dan apakah masih ada sisa nilai investasi yang masih dapat dipulihkan," kata Eko.
Sebelumnya, Rosan Roeslani dituduh telah melakukan penggelapan dana sekitar US$ 173 juta saat menjabat sebagai Direktur Utama PT Berau Coal Energy Tbk. Sejumlah dana tersebut ditempatkan di Chateu Asset Management. (Ahm)
BRAU Mulai Menyita Aset Rosan Roeslani
Asia Resource Minerals Plc (dulu Bumi Plc) mulai bergerak untuk menyita aset mantan Direktur Utama PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU), Rosan Perkasa Roeslani.
Ini merupakan tindak lanjut dari arbitrase yang dimenangkan oleh ARMS, induk usaha BRAU. Direktur Utama BRAU Amir Sambodo, mengatakan, penasihat hukum ARMS telah meminta konfirmasi atas pemenuhan kewajiban Rosan tersebut.
Namun, belum ada tanggapan. ARMS kemudian memutuskan untuk mendaftarkan keputusan arbitrase yang dilakukan di Singapura itu ke sejumlah negara. Pasalnya, berdasarkan Konvensi New York, keputusan tersebut dapat didaftarkan dan dilaksanakan di lebih dari 150 negara.
Mengacu pada aset-aset yang dimiliki Rosan di sejumlah negara, maka ARMS pun mendaftarkan keputusan arbitrase di Indonesia, Perancis, Amerika Serikat, dan Indonesia.
Amir bilang, pihaknya sedang mendaftarkan keputusan arbitrase di singapura. Tindakan ini dilakukan guna memungkinkan pihaknya menyita aset-aset Rosan di negeri singa ini.
Aset-aset tersebut berupa saham di Recapital Investments Pte Ltd. Rosan menguasai 99 persen atas saham Recapital. ARMS juga tengah mendaftarkan keputusan arbitrase di Perancis dan Luxemburg.
"Hal ini akan memungkinkan penetapan sita jaminan atas dua chateaux yang secara langsung milik Rosan," jelas Amir dalam pernyataan tertulis.
Sita jaminan itu selanjutnya akan menjadi penetapan final. Sehingga, aset-aset tersebut bisa dijual. Lalu, ARMS dan BRAU sedang mendaftarkan petisi konfirmasi di pengadilan Federal AS.
BRAU mengetahui, Rosan memiliki properti berharga di California. Terakhir, keputusan Arbitrase juga didaftarkan di Indonesia. Pasalnya, di sinilah aset-aset Rosan bermuara. Keputusan akan dilaksanakan dengan cara yang sama dengan keputusan yang dikeluarkan pengadilan di Indonesia.
Waktu pelaksanaan keputusan akan bervariasi di setiap wilayah hukum. Tidak hanya itu, hal itu juga ditentukan oleh tindakan Rosan. Apakah ia akan melawan pelaksanaan keputusan itu atau tidak.
"Perseroan menyesalkan Bapak Roeslani tidak menunjukkan tanda-tanda akan memenuhi kewajibannya," kata Amir.
Padahal, lanjut dia, Rosan sudah sepakat, setiap masalah yang timbul akan diselesaikan melalui arbitrase. Adapun, berdasarkan Singapore International Arbitration Centre (SIAC), putusan arbitrase itu bersigar final dan tidak dapatkan banding.
Sekadar mengingatkan, perseteruan ini merupakan buntut dari tudingan Nathanael Rothschild yang menuding ada penggunaan dana tak jelas di BRAU.
Ketika itu, ia mencurigai dana yang diinvestasikan dalam Chateau Asset Management senilai US$ 75 juta. Bumi Plc melakukan investigasi. Ternyata dana yang diperiksa jumlahnya membengkak menjadi 200 juta dollar AS.
Namun, akhirnya disepakati, Rosan membayar dana BRAU yang hilang sebesar 173 juta dollar AS. Keduabelah pihak setuju, pembayaran interim senilai 30 juta dollar AS dilakukan paling lambat 26 Desember 2013. Pembayaran dilakukan dalam bentuk tunai.
Namun, Rosan mangkir dan dinyatakan wanprestasi. BRAU dan Asia Resource kemudian mengajukan tuntutan resmi kepada Rosan. Pembentukan majelis arbitrase telah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku di SIAC pada 24 Desember 2013.
Awalnya Bumi Plc dan BRAU hanya menyeret Rosan melalui penyelesaian arbitrase atas pembayaran interim. Rosan pun memberikan argumen yang memosisikan, ia tidak harus membayar ganti rugi dalam jumlah berapapun.
BRAU kemudian mengajukan tuntuan resmi untuk proses arbitrase atas masalah yang lebih luas. Bukan saja mengenai pembayaran interim, melainkan kewajiban ganti rugi secara keseluruhan.
BRAU tetap minta Rosan membayar 30 juta dollar AS dalam bentuk tunai. Sedangkan sisanya, 143 juta dollar AS, bisa dalam bentuk aset, tunai, atau kombinasi keduanya.
Asal tahu saja, awalnya Rosan berniat membayar ganti rugi berupa tunai dan aset. Adapun aset yang akan diserahkan adalah 49 persen saham ABL dan 600 hektare (ha) lahan milik PT Borneo Prapatan Lestari. Asia Resource tetap pada pendiriannya untuk tidak mengakui penilaian KPMG Corporate Finance Pte Ltd atas ABL.
Pasalnya, Rosan menunjuk KPMG secara sepihak. Sehingga, dinilai tidak representatif. BRAU bersama Asia Resource sudah mulai berperkara dengan Chateau de Bonaban SAS dan Chateau de la Grenerie SAS. Kedua perusahaan yang berdomisili di Perancis ini secara tidak langsung miliki Rosan.
Rosan menguasai kedua perusahaan itu melalui perusahaan induk yang berlokasi di Luxembourg. Perusahaan induk itu bernama RCapital Holding. Rcapital ini dinilai sebagai penerima utama atas keuntungan (ultimate beneficial owner) dua perusahaan Perancis itu. Aset keduanya ditaksir mencapai 15 juta euro. (Amailia Putri Hasniawati)
http://bisnis.liputan6.com/read/2017969/minta-ganti-rugi-asia-resources-mineral-tuntut-rosan-roeslani
Minta Ganti Rugi, Asia Resources Mineral Tuntut Rosan Roeslani
Liputan6.com, Jakarta Manajemen PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) dan Asia Resources Minerals Plc mengajukan tuntutan resmi kepada mantan Direktur Utama PT Berau Coal Energy Tbk Rosan Roeslani pada 20 Januari 2014.
Direktur Utama PT Berau Coal Energi Tbk, Raden Curt Eko Santoso Budianto menuturkan, Rosan Roeslani telah gagal melakukan transfer dana tunai senilai US$ 173 juta. Seharusnya Rosan mengembalikan dana tersebut sesuai perjanjian pemulihan pada 26 Juni 2013. Hingga jatuh tempo, dana US$ 173 juta tersebut tidak dibayar oleh Rosan.
BACA JUGA
Investasi Sektor Migas Menurun
IHSG Berpotensi Melemah, Awasi Saham Pilihan Ini
IHSG Bakal Kembali Menguat
Pembentukan majelis arbitase telah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Singapore International Arbitration Centre (SIAC) pada 24 Desember 2013. Perseroan tidak ingin melakukan transaksi pengalihan saham dari PT Asian Bulk Logistic .
"Rosan Roeslani harus melakukan pembayaran penuh dalam bentuk tunai," ujar Eko dalam keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (4/3/2014).
Perseroan menyatakan, KPMG bukan sebagai penilai independen. Hal itu mengingat Rosan yang telah menunjuk KPMG secara sepihak. Padahal penunjukan penilai independen harus dilakukan bersama-sama sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang terdapat di dalam perjanjian pemulihan. "Saat ini kami sedang menunggu pembelaan Rosan," kata Eko.
Selain itu terkait pemulihan sisa kerugian sebesar US$ 30,67 juta, Perseroan dan Asia Resources Mineral telah memulai proses beracara di Perancis terkait dengan Chateau de Bonaban SAS dan Chateau de la Grenerie SAS. Dua perusahaan Perancis ini secara tidak langsung dimiliki oleh Rosan Roeslani.
Rosan memiliki perusahaan-perusahaan itu melalui suatu perusahaan induk yang berkedudukan di Luxembourg, RCapital Holding, yang kemudian merupakan penerima manfaat utama dari setiap perusahaan Perancis yang tengah digugat oleh Perseroan.
"Biaya untuk memperoleh perusahaan Perancis itu berasal dari dana yang telah disalahgunakan. Perusahaan Perancis itu memiliki aset kurang lebih 15 juta euro," tutur Eko.
Perseroan telah menerima penetapan sita jaminan atas saham yang dimiliki oleh RCapital di perusahaan-perusahaan Perancis tersebut. Saat ini perseroan masih mencari cara-cara lain untuk memperoleh pemulihan atas sisa kerugian tersebut.
Namun di saat yang sama, anak perusahaan Perseroan PT Berau Coal telah mengajukan permohonan untuk pembubaran Chateau. PT Berau Coal, selaku pemegang saham yang memiliki investasi di Chateau meminta pengadilan di Cayman untuk memberhentikan direktur yang sedang menjabat dan menunjuk direktur baru sebagai pengganti. Adapun penetapan arbitrase ini diperkirakan terbit pada September 2014.
"Hal ini dilakukan untuk melakukan penyelidikan atas status investasi dan apakah masih ada sisa nilai investasi yang masih dapat dipulihkan," kata Eko.
Sebelumnya, Rosan Roeslani dituduh telah melakukan penggelapan dana sekitar US$ 173 juta saat menjabat sebagai Direktur Utama PT Berau Coal Energy Tbk. Sejumlah dana tersebut ditempatkan di Chateu Asset Management. (Ahm)
INTER MILAN
https://m.tempo.co/read/news/2013/10/21/093523300/erick-thohir-beli-inter-milan-rothschild-berang
Erick Thohir Beli Inter Milan, Rothschild Berang
SENIN, 21 OKTOBER 2013 | 11:35 WIB
Pembelian Inter Milan oleh Erick Thohir dan kawan-kawan menuai reaksi negatif dari miliarder Inggris, Nathaniel Rothschild. Rothschild mengaitkan peran Rosan
Roeslani, mitra Erick Thohir dalam pembelian Inter, dengan masalah di perusahaan batu bara Bumi Plc.
Seperti diketahui, saat membeli Inter, Erick Thohir menggandeng dua partner, yakni Rosan Roeslani dan Handy Soetedjo. Handy adalah bos perusahaan investasi
PT Midasia Capital, sedangkan Rosan adalah salah satu direktur PT Berau Coal Energy, anak usaha Bumi Plc. Peran Rosan kemudian disoroti oleh Rothschild
lantaran dianggap terkait dengan sengketa di tubuh Bumi Plc, yang juga melibatkan grup Bakrie.
Dikutip dari Bloomberg, Rothschild menyatakan tindakan Rosan yang terlibat dalam pembelian Inter menjadi sinyal baru atas kelambanan manajemen Bumi Plc dalam
mengembalikan dana milik perusahaan yang hilang. Dengan kata lain, Rothschild menyindir Rosan cs yang mampu mengucurkan duit US$ 137 juta untuk Inter, namun
tak bisa memulihkan kinerja keuangan Bumi Plc.
"Roeslani memiliki dana untuk melakukan ini (membeli Inter) karena manajemen Bumi Plc gagal untuk mengambil tindakan hukum untuk melawan dia," kata
Rothschild dalam wawancara telepon akhir pekan ketiga Oktober 2013.
Seperti diketahui, Rothschild masih memiliki 21 persen hak suara di Bumi Plc. Keturunan baron perbankan Inggris ini terlibat sengketa dengan grup Bakrie
dalam memperebutkan saham Bumi Plc. Rothschild berkali-kali melayangkan tuduhan penggelapan uang perusahaan kepada grup Bakrie dan jajaran pemegang saham
Bumi Plc, termasuk Rosan dan Berau Coal. Inilah yang kemudian disangkutpautkan dengan pembelian Inter Milan oleh Rosan cs.
Menanggapi tuduhan ini, Rosan mengatakan argumen Rothschild tidak masuk akal. "Tidak logis untuk membuat hubungan antara investasi Inter Milan dan situasi di
Bumi Plc karena konteksnya benar-benar berbeda," kata dia. Rosan menegaskan telah memiliki komite investasi independen pada Inter Milan. Masalah Bumi Plc,
kata dia, sudah diselesaikan dengan cara transparan.
Erick Thohir Beli Inter Milan, Rothschild Berang
SENIN, 21 OKTOBER 2013 | 11:35 WIB
Pembelian Inter Milan oleh Erick Thohir dan kawan-kawan menuai reaksi negatif dari miliarder Inggris, Nathaniel Rothschild. Rothschild mengaitkan peran Rosan
Roeslani, mitra Erick Thohir dalam pembelian Inter, dengan masalah di perusahaan batu bara Bumi Plc.
Seperti diketahui, saat membeli Inter, Erick Thohir menggandeng dua partner, yakni Rosan Roeslani dan Handy Soetedjo. Handy adalah bos perusahaan investasi
PT Midasia Capital, sedangkan Rosan adalah salah satu direktur PT Berau Coal Energy, anak usaha Bumi Plc. Peran Rosan kemudian disoroti oleh Rothschild
lantaran dianggap terkait dengan sengketa di tubuh Bumi Plc, yang juga melibatkan grup Bakrie.
Dikutip dari Bloomberg, Rothschild menyatakan tindakan Rosan yang terlibat dalam pembelian Inter menjadi sinyal baru atas kelambanan manajemen Bumi Plc dalam
mengembalikan dana milik perusahaan yang hilang. Dengan kata lain, Rothschild menyindir Rosan cs yang mampu mengucurkan duit US$ 137 juta untuk Inter, namun
tak bisa memulihkan kinerja keuangan Bumi Plc.
"Roeslani memiliki dana untuk melakukan ini (membeli Inter) karena manajemen Bumi Plc gagal untuk mengambil tindakan hukum untuk melawan dia," kata
Rothschild dalam wawancara telepon akhir pekan ketiga Oktober 2013.
Seperti diketahui, Rothschild masih memiliki 21 persen hak suara di Bumi Plc. Keturunan baron perbankan Inggris ini terlibat sengketa dengan grup Bakrie
dalam memperebutkan saham Bumi Plc. Rothschild berkali-kali melayangkan tuduhan penggelapan uang perusahaan kepada grup Bakrie dan jajaran pemegang saham
Bumi Plc, termasuk Rosan dan Berau Coal. Inilah yang kemudian disangkutpautkan dengan pembelian Inter Milan oleh Rosan cs.
Menanggapi tuduhan ini, Rosan mengatakan argumen Rothschild tidak masuk akal. "Tidak logis untuk membuat hubungan antara investasi Inter Milan dan situasi di
Bumi Plc karena konteksnya benar-benar berbeda," kata dia. Rosan menegaskan telah memiliki komite investasi independen pada Inter Milan. Masalah Bumi Plc,
kata dia, sudah diselesaikan dengan cara transparan.
Wednesday, July 5, 2017
MNC AND WIKA
http://www.beritasatu.com/pasar-modal/324954-mnc-keluar-waskita-kuasai-wmttr.html
MNC Keluar, Waskita Kuasai WMTTR
Oleh: Nuriy Azizah / MHD | Kamis, 26 November 2015 | 07:45 WIB
Jakarta – PT Waskita Karya Tbk (WSKT) melalui anak usahanya, PT Waskita Toll Road, mengakuisisi 38,5% saham PT Waskita MNC Transjawa Toll Road (WMTTR) dari PT Sembilan Benua Makmur, perusahaan milik PT MNC Toll Road.
Akuisisi tersebut menjadikan Waskita Karya menjadi pemegang saham pengendali PT Waskita MNC Transjawa Toll Road dan sekaligus mendilusi seluruh kepemilikan saham Grup MNC pada perusahaan tol tersebut.
Sekretaris Perusahaan Waskita Karya Hadi Susilo mengatakan, setelah akuisisi, kepemilikan saham Waskita pada WMTTR mencapai 99,99%. Sisanya sebesar 0,01% dimiliki oleh Koperasi Waskita.
Untuk memuluskan pengambilalihan saham tersebut, Waskita Karya menyuntik modal Waskita Toll Road sebesar Rp 757,5 miliar. Penambahan modal dilakukan secara tunai.
“Idealnya, Waskita MNC Transjawa Toll Road akan berganti nama. Tapi kami masih mempertimbangkannya,” kata Hadi kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (25/11).
Saat ini, WMTTR menggarap tiga ruas jalan tol yakni Kanci – Pejagan, Pejagan – Pemalang, dan Pasuruan – Probolinggo. Hingga saat ini, baru ruas jalan tol Kanci – Pejagan yang telah beroperasi. Sementara Pejagan – Pemalang ditargetkan selesai pada 2016.
Seperti diketahui, WMTTR semula adalah perusahaan patungan (joint venture/JV) yang dibentuk oleh Waskita Karya dan Grup MNC melalui anak usahanya masing-masing, yakni Waskita Toll Road dan MNC Toll Road.
Pada awal pembentukan JV, Waskita Toll Road tercatat hanya memiliki satu konsesi ruas jalan tol yakni Pejagan – Pemalang. Sedangkan, MNC Toll Group memiliki dua konsesi ruas jalan tol melalui dua anak usaha yang berbeda.
Pertama, konsesi ruas jalan tol Kanci – Pejagan melalui PT Satria Cita Perkasa. Kedua, MNC Toll Road memiliki konsesi jalan tol Pasuruan – Probolinggo melalui PT Sembilan Benua Makmur.
Grup MNC sebelumnya mengakuisisi seluruh proyek tol milik Bakrie Toll Road. Ruas tol yang diakuisisi meliputi Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang (Jawa Tengah), Pasuruan-Probolinggo (Jawa Timur), Batang-Semarang (Jawa Tengah), dan Ciawi-Sukabumi (Jawa Barat).
Setelah melakukan penyetoran modal awal pada 29 September 2015, Waskita Karya perlahan menambah kepemilikannya secara bertahap. Hal itu dimulai dengan membeli saham PT Satria Citra Perkasa.
Kala itu, perseroan melakukan penyertaan modal kepada Waskita Toll Road sebesar Rp 300 miliar. Alhasil, perseroan pun menjadi pemegang saham pengendali dengan memiliki kepemilikan 61,5% pada WMTTR.
Menurut catatan Investor Daily, perseroan juga pernah menyutik modal Waskita Toll Road untuk mengakuisisi 90% saham PT Cimanggis Cibitung Tollways. Saham yang diakuisisi perseroan merupakan milik PT Bakrie & Brothers sebesar Tbk (BNBR) 10% dan PT Bakrie Toll Indonesia sebesar 80%.
Selain menambah modal, perseroan juga memberikan pinjaman sebesar Rp 51,8 miliar kepada Waskita Toll Road. Nilai tersebtu setara dengan 1,81% ekuitas preseroan dan 12,8% ekuitas Waskita Toll Road.
Dana tersebut nantinya akan digunakan untuk memaksimalkan kinerja anak usaha Waskita Toll Road, yaitu CSJ, SNJ dan NKJ.
MNC Keluar, Waskita Kuasai WMTTR
Oleh: Nuriy Azizah / MHD | Kamis, 26 November 2015 | 07:45 WIB
Jakarta – PT Waskita Karya Tbk (WSKT) melalui anak usahanya, PT Waskita Toll Road, mengakuisisi 38,5% saham PT Waskita MNC Transjawa Toll Road (WMTTR) dari PT Sembilan Benua Makmur, perusahaan milik PT MNC Toll Road.
Akuisisi tersebut menjadikan Waskita Karya menjadi pemegang saham pengendali PT Waskita MNC Transjawa Toll Road dan sekaligus mendilusi seluruh kepemilikan saham Grup MNC pada perusahaan tol tersebut.
Sekretaris Perusahaan Waskita Karya Hadi Susilo mengatakan, setelah akuisisi, kepemilikan saham Waskita pada WMTTR mencapai 99,99%. Sisanya sebesar 0,01% dimiliki oleh Koperasi Waskita.
Untuk memuluskan pengambilalihan saham tersebut, Waskita Karya menyuntik modal Waskita Toll Road sebesar Rp 757,5 miliar. Penambahan modal dilakukan secara tunai.
“Idealnya, Waskita MNC Transjawa Toll Road akan berganti nama. Tapi kami masih mempertimbangkannya,” kata Hadi kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (25/11).
Saat ini, WMTTR menggarap tiga ruas jalan tol yakni Kanci – Pejagan, Pejagan – Pemalang, dan Pasuruan – Probolinggo. Hingga saat ini, baru ruas jalan tol Kanci – Pejagan yang telah beroperasi. Sementara Pejagan – Pemalang ditargetkan selesai pada 2016.
Seperti diketahui, WMTTR semula adalah perusahaan patungan (joint venture/JV) yang dibentuk oleh Waskita Karya dan Grup MNC melalui anak usahanya masing-masing, yakni Waskita Toll Road dan MNC Toll Road.
Pada awal pembentukan JV, Waskita Toll Road tercatat hanya memiliki satu konsesi ruas jalan tol yakni Pejagan – Pemalang. Sedangkan, MNC Toll Group memiliki dua konsesi ruas jalan tol melalui dua anak usaha yang berbeda.
Pertama, konsesi ruas jalan tol Kanci – Pejagan melalui PT Satria Cita Perkasa. Kedua, MNC Toll Road memiliki konsesi jalan tol Pasuruan – Probolinggo melalui PT Sembilan Benua Makmur.
Grup MNC sebelumnya mengakuisisi seluruh proyek tol milik Bakrie Toll Road. Ruas tol yang diakuisisi meliputi Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang (Jawa Tengah), Pasuruan-Probolinggo (Jawa Timur), Batang-Semarang (Jawa Tengah), dan Ciawi-Sukabumi (Jawa Barat).
Setelah melakukan penyetoran modal awal pada 29 September 2015, Waskita Karya perlahan menambah kepemilikannya secara bertahap. Hal itu dimulai dengan membeli saham PT Satria Citra Perkasa.
Kala itu, perseroan melakukan penyertaan modal kepada Waskita Toll Road sebesar Rp 300 miliar. Alhasil, perseroan pun menjadi pemegang saham pengendali dengan memiliki kepemilikan 61,5% pada WMTTR.
Menurut catatan Investor Daily, perseroan juga pernah menyutik modal Waskita Toll Road untuk mengakuisisi 90% saham PT Cimanggis Cibitung Tollways. Saham yang diakuisisi perseroan merupakan milik PT Bakrie & Brothers sebesar Tbk (BNBR) 10% dan PT Bakrie Toll Indonesia sebesar 80%.
Selain menambah modal, perseroan juga memberikan pinjaman sebesar Rp 51,8 miliar kepada Waskita Toll Road. Nilai tersebtu setara dengan 1,81% ekuitas preseroan dan 12,8% ekuitas Waskita Toll Road.
Dana tersebut nantinya akan digunakan untuk memaksimalkan kinerja anak usaha Waskita Toll Road, yaitu CSJ, SNJ dan NKJ.
Tuesday, July 4, 2017
provokator dan london
https://news.detik.com/internasional/d-1705207/jadi-provokator-rusuh-london-2-pemuda-divonis-4-tahun-bui
Rabu 17 Aug 2011, 03:46 WIB
Jadi Provokator Rusuh London, 2 Pemuda Divonis 4 Tahun Bui
detikNews
Jadi Provokator Rusuh London, 2 Pemuda Divonis 4 Tahun Bui
London - Dua orang pemuda divonis masing-masing empat tahun penjara. Mereka terbukti bersalah menjadi penghasut aksi kerusuhan melalui situs jejaring sosial Facebook.
Seperti diberitakan The Sun,<\/em> Rabu (17\/8\/2011), dua orang pemuda tersebut diketahui bernama Jordan Blackshaw (20) dan Perry Sutcliffe-Keenan (22). Keputusan diambil dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Chester Crown.
Blackshaw dianggap sebagai provokator karena telah menciptakan sebuah event di akun Facebook dengan nama \\\'Smash Down Northwich Town\\\'. Lewat akun tersebut, dia mengajak pemuda lain untuk ikut menjarah di sekitar kota Northcich.
Sementara Sutcliffe-Keenan, pemuda yang tinggal di sekitar Warrington, juga membuat sebuah halaman di Facebook. Isinya berupa ajakan untk membuat sebuah kerusuhan di Warrington.
Wakil Kepala Polisi setempat, Phil Thompson mengatakan, teknologi kini mampu memberikan pengaruh luar biasa pada kehidupan masyarakat. Termasuk kemungkinan ajakan aksi rusuh di London.
\\\"Jika kita berfikir pada beberapa hari lalu dan melihat bagaimana teknologi digunakan untuk menyebarkan hasutan dan mengajak orang bersama-sama untuk melakukan kegiatan kriminal, sangat mudah untuk dimengerti mengapa putusan empat tahun ini dijatuhkan,\\\" ujarnya.
Rabu 17 Aug 2011, 03:46 WIB
Jadi Provokator Rusuh London, 2 Pemuda Divonis 4 Tahun Bui
detikNews
Jadi Provokator Rusuh London, 2 Pemuda Divonis 4 Tahun Bui
London - Dua orang pemuda divonis masing-masing empat tahun penjara. Mereka terbukti bersalah menjadi penghasut aksi kerusuhan melalui situs jejaring sosial Facebook.
Seperti diberitakan The Sun,<\/em> Rabu (17\/8\/2011), dua orang pemuda tersebut diketahui bernama Jordan Blackshaw (20) dan Perry Sutcliffe-Keenan (22). Keputusan diambil dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Chester Crown.
Blackshaw dianggap sebagai provokator karena telah menciptakan sebuah event di akun Facebook dengan nama \\\'Smash Down Northwich Town\\\'. Lewat akun tersebut, dia mengajak pemuda lain untuk ikut menjarah di sekitar kota Northcich.
Sementara Sutcliffe-Keenan, pemuda yang tinggal di sekitar Warrington, juga membuat sebuah halaman di Facebook. Isinya berupa ajakan untk membuat sebuah kerusuhan di Warrington.
Wakil Kepala Polisi setempat, Phil Thompson mengatakan, teknologi kini mampu memberikan pengaruh luar biasa pada kehidupan masyarakat. Termasuk kemungkinan ajakan aksi rusuh di London.
\\\"Jika kita berfikir pada beberapa hari lalu dan melihat bagaimana teknologi digunakan untuk menyebarkan hasutan dan mengajak orang bersama-sama untuk melakukan kegiatan kriminal, sangat mudah untuk dimengerti mengapa putusan empat tahun ini dijatuhkan,\\\" ujarnya.
glamour
https://www.thesun.co.uk/archives/news/1141291/why-is-this-young-and-beautiful-page-3-girl-from-suburbia-marrying-a-middle-aged-bullingdon-billionaire/
Former topless model Loretta Basey engaged to Eton-raised super-powerful businessman Nat Rothschild
By AMY JONES
22nd April 2016, 11:01 pm Updated: 19th May 2016, 2:20 am
HE IS the super-rich Bullingdon boy who mixes with the world’s most
powerful people – and she is the glamour girl from suburbia whose boobs are
better known than her face.
But in a romance that straddles the divides of both age and class, banking
heir Nat Rothschild, 44, and former Page 3 star Loretta Basey, 25, are
heading down the aisle.
The couple got engaged in December and later this year will throw a lavish
wedding in the exclusive Swiss ski resort of Klosters — loved by Princes
William and Harry, no less, and home to financier Nat.
The upcoming ceremony has no doubt raised eyebrows among the Rothschild
dynasty’s swanky society set — but it has come as no shock to Loretta’s
friends that she will marry a billionaire almost 20 years her senior.
As one former Page 3 pal reveals: “I’m not surprised she’s settling down with
someone loaded — she always did like an older, richer man.
“I think she thought it was what she deserved. She never seemed to enjoy
modelling and gave everyone the impression she was too good for it.
“She didn’t fit in with the rest of us. A lot of us found her difficult.”
Another added: “She never really smiled when she was modelling. I even
questioned why she was doing it. But now it makes total sense — she had a
plan.”
That “plan” was born of comparatively humble beginnings. Loretta grew up in
the family home, a terraced house near Gerrards Cross, Bucks.
Her father, Phillip, 59, is a chartered accountant and her mother Susan, 63, a
former model who advertises her services as a TV extra online.
Loretta is close to her older sister Olivia and regularly babysits for her
children, Zac and Harley, something her friends say is driving the next
stage of her masterplan — starting a family.
During Loretta’s short-lived glamour career she used the name Elle, as her
agent reckoned it was more “girl next door”. She posed on Page 3 more than
20 times and featured regularly in lads’ mags.
But in 2011 she sacrificed it all, once she had secured her first minted man —
actor and comedian Steve Coogan.
The source added: “She met him on a Loaded magazine cover shoot. She was the
mag’s Girl of the Year and Coogan’s Alan Partridge character guest-edited
the issue.
“Loaded had the idea of shooting Partridge with his hands cupped around her
boobs, like the infamous Janet Jackson photo. Shortly after that they were
an item.”
Loretta soon moved into Steve’s mansion outside Brighton.
The comic — then in his mid-40s — never discussed his younger girlfriend in
interviews, but she would appear dutifully at his side at events and
premieres.
Self-confessed recovering drug addict Steve had a notoriously messy love life
and had previously made headlines for drug-fuelled sex sessions.
But in his three-year relationship with Loretta he found some stability, and
the comic’s pals credited her with taming him.
But in 2014 they split and she was back on the hunt for a new man.
By November last year she appeared to have found him, after she was spotted at
a ball hanging off Nat’s arm, dressed — much to onlookers’ amusement — as a
lion tamer.
Some say it was a fitting choice of costume, observing that Loretta has had a
similar calming effect on Nat as she had on Steve. She is even said to have
won the approval of Nat’s formidable 79-year-old father Jacob, the Fourth
Baron Rothschild.
Former playboy Nat now drinks only “occasionally” and neither gambles nor
smokes. It is a far cry from his wilder days as a member of Oxford
University’s notorious Bullingdon Club — the aristocratic social group
famous for its drinking, drugs and debauchery.
Nat once held a “thrash” — or party — for the even rowdier Piers Gaveston
Society, the similarly notorious dining club which staged the event at which
David Cameron is alleged to have put his manhood inside a pig’s mouth.
On a separate occasion in 1994, former prostitute Natalie Rowe claimed that
Nat asked her to provide drugs and strippers for a Bullingdon party held at
Waddesdon Manor, the Rothschild family home in Bucks and just 20 miles from
Loretta’s family home.
Natalie said at the time: “They were precise in what they wanted — three slim
black girls in stockings, suspenders and high heels.”
In a Sunday Times profile in 2012, one woman in Nat’s social circle said: “He
had terrible acne but he was so rich and quite charming.
“He’d make a beeline for any girl he wanted to seduce, then hang around them,
buy them presents, smother them basically until they gave in. And a lot of
girls did give in who should have known better.”
According to another university pal, everyone was aware of his wealth. Once,
Nat is said to have jumped on to a table and shouted: “Ninety seven
million!” — which many believed to be a reference to the size of his trust
fund.
An unruly nature had become apparent when he was at Eton. A fellow pupil
described young Nat as “a rather scruffy and unpredictable boy with a
rebellious streak who you would never have tipped to make a big success of
his life.”
After university he was briefly married to Annabelle Neilson, a “wild child”
socialite and friend of Kate Moss.
In 1997, when the marriage fell apart after just three years, Nat began
playing the field, reportedly enjoying flings with Jonathan Aitken’s
daughter Petrina Khashoggi, Donald Trumps’s daughter Ivanka and Star Wars
actress Natalie Portman. But as his marriage dissolved, his career
flourished. He joined corporate finance firm Gleacher Partners, where he met
Timothy Barakett, a Canadian trying to set up a hedge fund, Atticus Capital.
Nat became a partner and set his sights on making his own fortune.
He said: “Without blowing my trumpet, I was chairman of one of the biggest
public companies in France by the time I was 28.”
Nat’s personal wealth is estimated at £523million, much of it self-made, and
he is 192nd on The Sunday Times Rich List.
As well as his declared inheritance of £500million, his actual inheritance has
been reported as “hidden in a series of trusts in Switzerland and is
rumoured to be worth £40billion”.
Former prostitute ... Natalie Rowe claimed that Nat asked her to provide drugs and strippers for a Bullingdon party
He also has huge influence, with Chelsea owner Roman Abramovich and former BP
boss Tony Hayward among his pals, and he has several contacts inside
Whitehall, including Chancellor George Osborne.
Such powerful friends must be both beguiling and intimidating to Loretta,
whose contacts book is far less exciting. A pal said: “She is so down to
earth and her best friends are largely from back home.”
However, another friend said: “She has been saying she is ready for kids — and
what better way to start a family than with one of Britain’s richest men?
“She’s not just a pretty face.”
By AMY JONES
22nd April 2016, 11:01 pm Updated: 19th May 2016, 2:20 am
HE IS the super-rich Bullingdon boy who mixes with the world’s most
powerful people – and she is the glamour girl from suburbia whose boobs are
better known than her face.
But in a romance that straddles the divides of both age and class, banking
heir Nat Rothschild, 44, and former Page 3 star Loretta Basey, 25, are
heading down the aisle.
The couple got engaged in December and later this year will throw a lavish
wedding in the exclusive Swiss ski resort of Klosters — loved by Princes
William and Harry, no less, and home to financier Nat.
The upcoming ceremony has no doubt raised eyebrows among the Rothschild
dynasty’s swanky society set — but it has come as no shock to Loretta’s
friends that she will marry a billionaire almost 20 years her senior.
As one former Page 3 pal reveals: “I’m not surprised she’s settling down with
someone loaded — she always did like an older, richer man.
“I think she thought it was what she deserved. She never seemed to enjoy
modelling and gave everyone the impression she was too good for it.
“She didn’t fit in with the rest of us. A lot of us found her difficult.”
Another added: “She never really smiled when she was modelling. I even
questioned why she was doing it. But now it makes total sense — she had a
plan.”
That “plan” was born of comparatively humble beginnings. Loretta grew up in
the family home, a terraced house near Gerrards Cross, Bucks.
Her father, Phillip, 59, is a chartered accountant and her mother Susan, 63, a
former model who advertises her services as a TV extra online.
Loretta is close to her older sister Olivia and regularly babysits for her
children, Zac and Harley, something her friends say is driving the next
stage of her masterplan — starting a family.
During Loretta’s short-lived glamour career she used the name Elle, as her
agent reckoned it was more “girl next door”. She posed on Page 3 more than
20 times and featured regularly in lads’ mags.
But in 2011 she sacrificed it all, once she had secured her first minted man —
actor and comedian Steve Coogan.
The source added: “She met him on a Loaded magazine cover shoot. She was the
mag’s Girl of the Year and Coogan’s Alan Partridge character guest-edited
the issue.
“Loaded had the idea of shooting Partridge with his hands cupped around her
boobs, like the infamous Janet Jackson photo. Shortly after that they were
an item.”
Loretta soon moved into Steve’s mansion outside Brighton.
The comic — then in his mid-40s — never discussed his younger girlfriend in
interviews, but she would appear dutifully at his side at events and
premieres.
Self-confessed recovering drug addict Steve had a notoriously messy love life
and had previously made headlines for drug-fuelled sex sessions.
But in his three-year relationship with Loretta he found some stability, and
the comic’s pals credited her with taming him.
But in 2014 they split and she was back on the hunt for a new man.
By November last year she appeared to have found him, after she was spotted at
a ball hanging off Nat’s arm, dressed — much to onlookers’ amusement — as a
lion tamer.
Some say it was a fitting choice of costume, observing that Loretta has had a
similar calming effect on Nat as she had on Steve. She is even said to have
won the approval of Nat’s formidable 79-year-old father Jacob, the Fourth
Baron Rothschild.
Former playboy Nat now drinks only “occasionally” and neither gambles nor
smokes. It is a far cry from his wilder days as a member of Oxford
University’s notorious Bullingdon Club — the aristocratic social group
famous for its drinking, drugs and debauchery.
Nat once held a “thrash” — or party — for the even rowdier Piers Gaveston
Society, the similarly notorious dining club which staged the event at which
David Cameron is alleged to have put his manhood inside a pig’s mouth.
On a separate occasion in 1994, former prostitute Natalie Rowe claimed that
Nat asked her to provide drugs and strippers for a Bullingdon party held at
Waddesdon Manor, the Rothschild family home in Bucks and just 20 miles from
Loretta’s family home.
Natalie said at the time: “They were precise in what they wanted — three slim
black girls in stockings, suspenders and high heels.”
In a Sunday Times profile in 2012, one woman in Nat’s social circle said: “He
had terrible acne but he was so rich and quite charming.
“He’d make a beeline for any girl he wanted to seduce, then hang around them,
buy them presents, smother them basically until they gave in. And a lot of
girls did give in who should have known better.”
According to another university pal, everyone was aware of his wealth. Once,
Nat is said to have jumped on to a table and shouted: “Ninety seven
million!” — which many believed to be a reference to the size of his trust
fund.
An unruly nature had become apparent when he was at Eton. A fellow pupil
described young Nat as “a rather scruffy and unpredictable boy with a
rebellious streak who you would never have tipped to make a big success of
his life.”
After university he was briefly married to Annabelle Neilson, a “wild child”
socialite and friend of Kate Moss.
In 1997, when the marriage fell apart after just three years, Nat began
playing the field, reportedly enjoying flings with Jonathan Aitken’s
daughter Petrina Khashoggi, Donald Trumps’s daughter Ivanka and Star Wars
actress Natalie Portman. But as his marriage dissolved, his career
flourished. He joined corporate finance firm Gleacher Partners, where he met
Timothy Barakett, a Canadian trying to set up a hedge fund, Atticus Capital.
Nat became a partner and set his sights on making his own fortune.
He said: “Without blowing my trumpet, I was chairman of one of the biggest
public companies in France by the time I was 28.”
Nat’s personal wealth is estimated at £523million, much of it self-made, and
he is 192nd on The Sunday Times Rich List.
As well as his declared inheritance of £500million, his actual inheritance has
been reported as “hidden in a series of trusts in Switzerland and is
rumoured to be worth £40billion”.
Former prostitute ... Natalie Rowe claimed that Nat asked her to provide drugs and strippers for a Bullingdon party
He also has huge influence, with Chelsea owner Roman Abramovich and former BP
boss Tony Hayward among his pals, and he has several contacts inside
Whitehall, including Chancellor George Osborne.
Such powerful friends must be both beguiling and intimidating to Loretta,
whose contacts book is far less exciting. A pal said: “She is so down to
earth and her best friends are largely from back home.”
However, another friend said: “She has been saying she is ready for kids — and
what better way to start a family than with one of Britain’s richest men?
“She’s not just a pretty face.”
Saturday, July 1, 2017
ROTHSCHILD AND SINAR MAS
http://www.telegraph.co.uk/finance/newsbysector/industry/mining/11658685/Rothschild-vows-never-again-after-Indoesian-coal-exit.html
Rothschild vows 'never again' after Indoesian coal exit
Nat Rothschild has accepted an improvedROTH offer from Asia Coal Energy Ventures for the company formerly known as Bumi
The offer for the company, formerly known as Bumi, will come as a blow to Mr Rothschild who was attempting to seize control of the company
Nat Rothschild has said he will never again invest in the Indonesian coal sector after his investment vehicle NR Holdings accepted an improved offer of 56p a share from Asia Coal Energy Ventures, for its stake in Asia Resource Minerals which values the company
Mr Rothschild was scathing about his bruising involvement with the company formerly known as Bumi. He said: “This will be our first and last investment in Indonesia’s coal sector.”
The offer, which values the company at $200m (£131m), was a 36pc increase on ACE’s original offer of 41p a share made on May 7.
Mr Rothschild added: “There is no suggestion that this is a good outcome for shareholders, but it is the best short-term outcome given the difficulties that ARMS would have faced had it attempted to recover, via a lengthy and costly litigation process, the $173m that was mis-appropriated by the former Indonesian controlling shareholders and management of this company.”
Nat Rothschild has sold his stake in the company formerly known as Bumi
The deal will come as a blow to Mr Rothschild who is a long-term believer in coal investment. He founded the company to invest in Indonesian natural resources.
ACE is backed by Argyle Street Management and the Sinarmas group, owned by Indonesian tycoon Eka Tjipta Widjaja and controller of the country's listed PT Berau Coal Energy company.
Fuganto Widjaja, speaking on behalf of Sinarmas said: “ACE and Sinarmas are delighted to have received this irrevocable undertaking from the Honourable Nathaniel Rothschild and NR Holdings. We are grateful to Mr Rothschild for his good faith and professionalism in all our dealings.
“Through his efforts and close cooperation and support from the ARMS board, additional value has been obtained for ARMS shareholders through the increased price of our offer. We look forward to working together with Mr Rothschild and the ARMS board in order to conclude our offer successfully and to resolve the current situation at Berau in Indonesia.
“We also look forward to restoring the long term prospects of the ARMS group after the restructuring proposed by ACE."
Rothschild vows 'never again' after Indoesian coal exit
Nat Rothschild has accepted an improvedROTH offer from Asia Coal Energy Ventures for the company formerly known as Bumi
The offer for the company, formerly known as Bumi, will come as a blow to Mr Rothschild who was attempting to seize control of the company
Nat Rothschild has said he will never again invest in the Indonesian coal sector after his investment vehicle NR Holdings accepted an improved offer of 56p a share from Asia Coal Energy Ventures, for its stake in Asia Resource Minerals which values the company
Mr Rothschild was scathing about his bruising involvement with the company formerly known as Bumi. He said: “This will be our first and last investment in Indonesia’s coal sector.”
The offer, which values the company at $200m (£131m), was a 36pc increase on ACE’s original offer of 41p a share made on May 7.
Mr Rothschild added: “There is no suggestion that this is a good outcome for shareholders, but it is the best short-term outcome given the difficulties that ARMS would have faced had it attempted to recover, via a lengthy and costly litigation process, the $173m that was mis-appropriated by the former Indonesian controlling shareholders and management of this company.”
Nat Rothschild has sold his stake in the company formerly known as Bumi
The deal will come as a blow to Mr Rothschild who is a long-term believer in coal investment. He founded the company to invest in Indonesian natural resources.
ACE is backed by Argyle Street Management and the Sinarmas group, owned by Indonesian tycoon Eka Tjipta Widjaja and controller of the country's listed PT Berau Coal Energy company.
Fuganto Widjaja, speaking on behalf of Sinarmas said: “ACE and Sinarmas are delighted to have received this irrevocable undertaking from the Honourable Nathaniel Rothschild and NR Holdings. We are grateful to Mr Rothschild for his good faith and professionalism in all our dealings.
“Through his efforts and close cooperation and support from the ARMS board, additional value has been obtained for ARMS shareholders through the increased price of our offer. We look forward to working together with Mr Rothschild and the ARMS board in order to conclude our offer successfully and to resolve the current situation at Berau in Indonesia.
“We also look forward to restoring the long term prospects of the ARMS group after the restructuring proposed by ACE."
Subscribe to:
Posts (Atom)