http://arsip.gatra.com/2013-07-02/majalah/artikel.php?pil=23&id=154518
Menelusuri Warisan Sang Raja Gula
Tercatat sebagai konglomerat pertama Asia, Oei Tiong Ham meninggalkan banyak warisan di kota Semarang. Dua di antaranya adalah bangunan yang dikenal dengan nama Istana Gergaji dan Gedong Dhuwur. Berbeda dari Istana Gergaji yang kini berubah nama menjadi Bernice Castle, seiring dengan peralihan kepemilikannya, Gedong Dhuwur sangat tidak terawat. Wartawan Gatra Arif Koes Hernawan menyambangi warisan sang raja gula pada pekan ketiga Juni lalu. Berikut penuturannya.
Gedung kuno itu bukan tanpa alasan disebut sebagai istana. Halamannya luas dan dari kejauhan tampak bangunan persegi nan simetris itu demikian kokoh. Arsitektur gedung warna putih yang menghadap ke barat itu bergaya Corinthian ala bangunan Eropa, ditandai dengan delapan pilar besar --berhiasan ukiran kayu di bagian atasnya-- di teras bangunan. Antara halaman berkanopi dan teras gedung dipisahkan tangga dan diapit jambangan ukuran besar.
Ada tiga pintu dan empat jendela kayu di bagian depan gedung itu. Semua ramping memanjang dan berdaun ganda. Khusus di pintu dan jendela depan, dijumpai ukiran tipis yang tidak ditemui di bagian lain rumah itu. Ukiran ini berupa empat garis lengkung yang saling bertemu dengan lingkaran di bagian tengah dan tanda panah di atasnya, beserta enam titik di bagian kanan dan kiri. Sekilas terbentuk inisial "OTH", yang menandai pemilik gedung itu.
Selamat datang di istana Oei Tiong Ham! Sesuai dengan nama kampung di sana, gedung itu disebut Istana Gergaji. Warga menyebutnya pula sebagai Istana Balekambang dan Kebon Rojo, sesuai dengan gazebo-gazebo di atas air dan kebun binatang yang pernah ada di sana.
Bangunan di Jalan Kyai Saleh 12-14, Mugassari, Semarang, itu adalah satu dari segelintir aset Tiong Ham yang masih tersisa dan terawat baik. Modelnya menunjukkan cita rasa mewah mendiang "raja gula" berkekayaan 200 juta gulden tersebut. Pada masanya, luas area gedung itu 9,2 hektare, dengan 200 ruangan dan menjadi bagian kompleks kawasan milik Tiong Ham sekitar 81 hektare. Menurut catatan pemilik terakhir, gedung itu berada pada lahan seluas 7.560 meter persegi.
Ketika pintu depan dibuka, tampak ruang utama berupa ruang lapang tanpa sekat. Sisi kanan dan kiri dihiasi lukisan sepasang bangsawan Victoria berukuran besar. Terdapat pula dua lampu gantung dan beberapa lampu dinding kecil berornamen Cupid. Lukisan, lampu, dan semua ornamen merupakan barang baru milik pengelolanya kini, bukan asli dari zaman Tiong Ham.
Ada lima pintu di sisi kanan dan kiri ruang utama yang berhadapan dan sejajar. Pintu ini masing-masing menghubungkan ruang samping, teras, dan kanopi kayu ke pavilyun. Di ruang samping dibuat tiga bilik toilet. Di sampingnya lagi, pintu mengarah ke teras kecil dengan terop kayudan tangga kecil. Sisi ujung memiliki dua pintu yang mengapit teralis besi membatasi ruang belakang. Ruangan ini juga tanpa sekat, dengan pintu dan jendela dari kaca nako.
Awalnya Milik Hoo Yam Loo
Dua bangunan sayap atau pavilyun memanjang ke timur dan terdiri dari beberapa ruang. Antara lain digunakan untuk ruang kantor, perpustakaan, dan kamar-kamar. Nah, di ruang berikutnya terdapat meja marmer dan kursi kayu. Ada empat lukisan kecil berisi panorama kota-kota di Eropa.
Yang mencolok dari ruang ini adalah kolam persegi dengan tegel berornamen warna biru. Kolam disekat menjadi dua bagian. Pada bagian kecil, terdapat keran air. Pada bagian besar, berdiri patung perempuan menuang guci. Patung dan kolam itu tampak kotor dan berdebu. Konon, inilah bak mandi Oei Tiong Ham.
Pavilyun selatan juga terdiri dari beberapa ruang. Bagian ini lebih asri, bersih, dan terawat. Di setiap teras ruang diletakkan bangku kayu. Ruang-ruang ini pernah digunakan sebagai kelas kampus swasta bersama bangunan baru tingkat dua di sisi ujung timur kompleks ini.
Persis di tengah sejumlah bangunan itu dibuat taman ketika dilakukan renovasi, berupa kolam air dengan hiasan patung kecil dan bangku-bangku. Namun taman ini juga kurang terawat, airnya tak mengalir dan kotor, dan tanaman di sekitarnya nyaris tumbuh liar. Toh, suasana di bagian belakang istana ini begitu hijau dengan pohon-pohon tinggi nan rimbun, seperti pinus, palem, dan kelengkeng.
Istana ini semula milik Hoo Yam Loo, pengusaha Tionghoa yang mendapat hak istimewa untuk memonopoli perdagangan candu. Namun ia akhirnya rugi besar hingga usahanya bangkrut. Sejak itu, harta Hoo disita pengadilan untuk dilelang, termasuk gedung besar miliknya tersebut. Singkat kata, Oei Tjie Sin, ayah Tiong Ham, memenangkan lelang rumah Hoo itu pada 1883.
Ada Ruang Khusus Berpendingin
Pada usia 22 tahun, Tiong Ham menempati rumah tersebut. Keputusan ini tergolong berani ketika itu. Soalnya, pemerintah kolonial Belanda masih menerapkanWijkenstelsel. Ketentuan ini mengatur orang-orang Tionghoa untuk tinggal di wilayah tertentu sesuai dengan aturan pihak kolonial. Mereka dilarang membangun rumah dan tinggal di luar kawasan itu. Aturan inilah yang melahirkan kawasan Pecinan seperti yang kita kenal saat ini.
Sementara itu, gedung bekas milik Hoo tersebut berada di permukiman Belanda. Untuk memuluskan keinginannya tinggal di situ, Tiong Ham sampai menyewa pengacara Belanda kondang guna mengurus legalitasnya. Sang raja gula juga memanfaatkan kedekatannya dengan gubernur jenderal waktu itu untuk mendapat izin tinggal di rumah barunya tersebut.
Setelah menempati gedung itu, Tiong Ham melapisi lantai dengan ubin marmer yang didatangkan dari Italia. Karakter Tionghoa tampak pada gerbang di pelataran gedung. Juga pada hiasan seperti lukisan, sulaman, dan kaligrafi aksara Cina. Sedangkan untuk perabotan, Tiong Ham menyukai mebel-mebel dari kayu, rotan, dan bambu.
Sejarawan Tionghoa asal Semarang, Jongki Tio, mengungkap keunikan bangunan itu dalam buku kecil Istana Oei Tiong Ham Balekambang Semarang. Di situ ada ruang khusus untuk menyimpan daging, sayur, dan ikan yang memerlukan pendingin agar tahan lama. "Saat itu belum dikenal lemari es sehingga sebagai gantinya dipakai balok-balok es yang tiap kali harus diganti. Di ruang tersebut dibuat pula saluran-saluran khusus untuk mengalirkan air dari es yang meleleh," tulisnya.
Salah satu yang menarik, istana ini dilengkapi pula dengan kebun binatang mini. Koleksi hewannya menjadi tujuan wisata warga Semarang pada perayaan Imlek dan Idul Fitri ketika itu. Tak terkecuali gubernur jenderal Belanda dan pejabat kolonial.
Pernah Dikunjungi Raja Siam
Taman istana ditumbuhi berbagai bunga dan terdapat kolam-kolam ikan. Di atas kolam didirikan gazebo untuk beristirahat. Nama Balekambang muncul dari bangunan ini. Bale berarti balai-balai atau saung dan kambang berarti terapung di permukaan air. Taman ini dilengkapi dengan gunung buatan dari karang dan ratusan patung. Satu-satunya patung yang tersisa saat ini, menurut pengelola gedung, adalah patung malaikat warna putih di pelataran belakang. Patung ini tertutup tanaman liar dan berada di dekat bangku dan kolam yang dibuat saat renovasi tahun 2003.
Keindahan taman pada masa kejayaan Tiong Ham tidak berhenti sampai di situ. Ada tempat pentas untuk pemain musik Tionghoa dan gamelan Jawa beserta sinden dan penari. Apalagi, panorama alam sekitar memesona ketika itu. Istana ini menjadi bagian bukit dari sisi selatan --yang kini menjadi kompleks pemakaman umum Bergota-- hingga ke arah timur gedung yang telah berubah menjadi permukiman padat, termasuk bangunan Polda Jawa Tengah. Untuk mempercantik istana, lampion-lampion impor dari Tiongkok dinyalakan pada malam hari. Jalan di depan istana pun menjadi ramai serupa pasar.
Keindahan istana ini tersiar sampai ke luar negeri. Salah satu turis asing yang berkunjung adalah Raja Siam. Para penumpang kapal yang sedang berlabuh di Semarang juga menyempatkan diri berekreasi ke sini. Dan tamu yang menginap dijamu di kamar-kamar pavilyun.
Untuk mengurusi rumah tangga istananya, Tiong Ham mempekerjakan sekitar 40 orang. Uniknya, seperti diungkapkan Jongki Tio, di antara karyawan Tiong Ham, terdapat orang-orang Belanda. Ketika itu, masih sangat sedikit orang bule yang bekerja pada orang Asia. Untuk mengatur seluruh pekerja itu, harus diangkat kepala staf yang berwibawa, yang disebut Mayordomo.
Jumlah itu belum termasuk pekerja bagian kebun yang mencapai sekitar 50 orang. Kepala urusan kebun dipercayakan kepada ahli perkebunan dan tanaman dari Sumatera. Para pekerja tinggal di rumah-rumah di bagian belakang kebun istana. Luas rumah-rumah itu sesuai dengan pangkat mereka. Boleh jadi, inilah cikal bakal Kampung Balekambang dan Gergaji saat ini.
Dibeli dalam Kondisi Memprihatinkan
Sepeninggal Tiong Ham pada 1924, kompleks istana diwariskan kepada anaknya, Oei Tjong Hauw. Pada hari-hari raya, istana ini masih bisa dikunjungi warga. Tapi, sejak keputusan penyitaan aset Tiong Ham, istana ini menjadi milik pemerintah. Secara de facto, istana ini dikuasai Kodam Diponegoro dan dijadikan Balai Prajurit.
Pada 2003, pengusaha Budi Purnomo alias Hoo Liem membeli Balai Prajurit. Sebelum Budi, konon ada tiga hingga empat pihak yang tertarik pada bangunan itu, tapi transaksi mereka selalu batal. Ayah Budi, mendiang Hoo Liong Tiauw, yang berkeras atas pembelian karena tertarik dengan bangunan kuno dan bersejarah itu. Nilai transaksinya tidak diketahui secara persis.
Adik ipar Hoo Liem yang dipercaya menjadi pengelola gedung, Rini Hayati, bercerita tentang kondisi istana ketika itu. "Nyaris hancur," ujarnya saat ditemui Gatra, beberapa waktu lalu. Cat dinding sebagian besar tembok mengelupas sehingga tampak lapisan dalam yang hijau tua. Beberapa bagian tembok keropos dan sejumlah plafon atap rusak. Kaca-kaca jendela juga nyaris semuanya pecah.
Lucunya, ubin-ubin marmer, yang ketika transaksi masih utuh, saat didatangi dan ditempati, sudah hilang dicongkel. Alhasil, seluruh bagian dasar gedung hanya berupa plester. Bangunan juga kosong melompong tanpa menyisakan perabot, lukisan, atau ornamen satu pun.
Bagian luar rumah tak kalah memprihatinkan. Ornamen kayu pada lorong ke pavilyun patah. Pelataran gedung, terutama di sisi belakang, subur oleh alang-alang. Untunglah, kualitas seluruh kusen pintu dan jendela masih oke. Hanya besi pada gerendel yang rusak. "Jadi, tetap lebih banyak yang rusak," katanya.
Untuk itu, renovasi pun dilakukan selama tiga tahun. Prosesnya berlangsung menyeluruh dan sedetail mungkin. Dindingnya dicat ulang, lantai dilapisi tegel marmer asal Tulungagung, sampai perbaikan plafon yang jebol. Pola ornamen kayu di koridor penghubung ke pavilyun dibuat ulang satu per satu dengan meniru ornamen yang masih utuh. Kaca-kaca jendela dengan hiasan motif yang telah pecah atau hilang juga diganti dengan kaca yang dibuat sama persis. Simpai-simpai besi keemasan penguat plafon atap dikumpulkan dan dipasang ulang.
Gedung utama sedikit berubah. Dinding pembatas dan dua pintu bagian tengah ruang dijebol, sehingga dua ruang gedung utama menyatu dan menjadi aula yang sangat lebar. Perubahan gedung utama diminimalkan karena dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Bangunan Cagar Budaya. Dalam keterangan rencana kota, bangunan utama tidak boleh dipugar tanpa seizin wali kota. Selebihnya tidak ada perubahan mencolok.
Dimanfaatkan untuk Beragam Kegiatan
Seiring dengan renovasi itu, Hoo Liem membangun gedung dua lantai baru di bagian belakang. Sejak 2004, gedung itu digunakan untuk kampus Sekolah Tinggi Manajemen Infomatika dan Komputer (STMIK) Provisi hingga berakhir dua tahun silam. Dalam kurun waktu itu, Hoo Liem menjadi salah satu penyandang dana di yayasan kampus tersebut. Selain itu, ruang di pavilyun sisi utara digunakan sebagai tempat kursus bahasa asing, Study World, dan butik pakaian.
Kini gedung itu bernama Bernice Castle. Namanya diambil dari nama baptis istri Hoo Liem, Bernice Leowita Sandjaja. Keindahan arsitektur lawas dan suasana asri menjadi daya tarik gedung itu untuk disewakan sebagai ruang pertemuan dan resepsi, dengan biaya sewa Rp 23 juta.
Tidak sedikit pula yang tertarik untuk mengabadikan momen di sana. Terutama pasangan yang hendak menikah dan melakukan foto pre-wedding. Apalagi, pada musim nikah seperti dua bulan belakangan ini, rata-rata ada tiga hingga empat pemotretan. Lokasi favorit biasanya di gedung utama, selasar ruang pavilyun, dan taman halaman belakang. Pengelola mematok tarif foto Rp 500.000 per tiga jam.
Ruang bagian belakang gedung utama disewakan untuk sekolah balet anak-anak di sore hari. Pelataran depan dibuka untuk lahan parkir usaha mobil sewa, sedangkan halaman belakang untuk parkir mobil-mobil yang dijual. Pelataran gedung baru sekali digunakan untuk acara musik yang menggaet sponsor, beberapa bulan lalu. Sedangkan kegiatan sosial, seperti latihan tari anak yatim piatu dan kelompok bela diri, diizinkan di teras gedung secara cuma-cuma.
Berbagai langkah tersebut dilakukan demi menopang pengelolaan gedung. Maklum saja, ongkos operasional dan pemeliharaan gedung ini tidak sedikit. Rini enggan membeberkan jumlahnya. "Pokoknya besar," kata dia sambil tersenyum. Kabarnya, untuk listrik saja mencapai Rp 3 juta per bulan. Untuk pekerja, Bernic Castle memiliki dua penjaga dan tiga tukang bersih-bersih.
Rini pun menuturkan, "pemilik asli" istana ini pernah bertandang beberapa kali sekadar menengok peninggalan leluhur mereka. Terakhir kali, pada Juli 2011, dua anak termuda Tiong Ham dari istrinya yang terakhir, Lucy Hoo, berkunjung. Mereka adalah Oei Tjong Bo, kakek 90 tahun, dan Lovy, perempuan 91 tahun. "Mereka sangat kagum, hampir tidak percaya istananya masih berdiri kokoh, bahkan jauh lebih indah interiornya. Semula, mereka mengira istananya sudah hampir ambruk atau rusak parah," ungkapnya.
Saat Gatra masih berada di istana ini, ada empat orang yang datang mengendarai mobil berpelat nomor Solo. Seorang di antaranya perempuan paruh baya, yang ternyata Imelda Sundoro, pemilik Sun Motor, yang kini getol mengembangkan jaringan properti dan hotel berbintang di Solo, Semarang, dan Yogyakarta.
Mengenakan setelah hijau tua, ia tampak antusias menyusuri tiap bagian gedung. Tiap ruang yang terkunci diminta untuk dibuka. Beberapa bagian kompleks gedung, seperti halaman belakang, diukur. Setiap detail ditanyakan keasliannya kepada penjaga gedung, seperti tegel lantai, lukisan, lampu, hingga tempat mandi sang raja gula.
Ia sudah punya rencana untuk gedung itu. Misalnya, menjadikan gedung utama sebagai resto dan membangun tempat parkir bawah tanah sehingga terdapat akses ke gedung utama. "Biasanya orang malas jalan jauh dari mobilnya," katanya. Namun ia masih belum mengerti bagian mana yang boleh atau tidak boleh dibongkar. "Kalau boleh nanti jadinya seperti ini, kalau tidak boleh seperti itu," katanya lagi kepada tiga laki-laki yang menyertainya.
Secara terpisah, Rini menjelaskan bahwa istana itu akan dijual. Harga yang ditawarkan Rp 60 milyar. Hoo Liem berencana menggunakan hasil dana penjualan itu untuk mengembangkan usaha ban karet di Jawa Barat. Sejumlah pengusaha, beberapa dari Semarang, seperti pemilik merek jamu atau minuman kemasan, pernah berminat. "Ibu Imelda juga masih survei-survei, belum deal," ujar dia.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sarang Garuda Bagai Tak Bertuan
Sambil menggendong bayi, seorang ibu duduk tenang. Di belakangnya, perempuan lain asyik menelisik rambut si ibu: lagi petan alias mencari kutu. Keduanya seolah tak peduli dengan suasana sekitar yang begitu hiruk-pikuk pada Sabtu petang pekan ketiga Juni lalu.
Di seberang mereka, para bocah berlarian atau bermain dengan sepedanya. Para bapak duduk-duduk, ditemani secangkir kopi dan rokok kretek, sambil mengobrol ngalor-ngidul. Tak jauh dari situ, seorang ibu sibuk mencuci baju, sedangkan suaminya memandikan sang putri. Lalu ada pemuda menggeber sepeda motor dengan raungan keras. Tampak pula seorang pria yang tengah memberi makan ayam.
Dua perempuan yang sedang petan itu duduk di tangga sebuah rumah kuno, berupa bangunan dua tingkat yang disebut warga sebagai Gedong Dhuwur alias Gedung Tinggi. Inilah satu lagi bangunan jejak Oei Tiong Ham di Semarang, selain Istana Gergaji. Letaknya di kawasan padat penduduk di Pamularsih Dalam atau Simongan. Dahulu, kawasan ini disebut Penggiling karena menjadi tempat penggilingan tebu.
Kondisi kompleks bangunan peninggalan Tiong Ham yang satu ini jauh berbeda dibandingkan dengan kemegahan Istana Gergaji. Sebutan "asrama" sudah menjelaskan situasi itu. Bangunan utamanya terdiri dari dua lantai. Bagian dasarnya telah disekat-sekat sebagai rumah warga, sedangkan lantai atas dibiarkan kosong tak terurus.
Gedung ini aslinya menghadap selatan. Jejak yang masih dapat diamati justru di bagian belakang rumah, yakni di sisi utara. Empat pilar bulat dari batu di teras tampak masih kokoh. Pada bagian teras yang mencakup tiga pilar telah dipasang papan kayu untuk rumah warga.
Lantai dasar semula terbagi menjadi lima ruang dengan luas berbeda. Warga lalu membuat sekat-sekat di bagian dalam bangunan utama ini. Sehingga ruangan dalam gedung berukuran sekitar 20 x 12 meter ini dapat dibagi dan ditinggali keluarga berbeda. Beberapa bagian dinding luar mengelupas. Sebagian dibiarkan sehingga terlihat batu batanya. Sebagian lagi ditambal alakadarnya.
Sisi depan bangunan yang menghadap selatan sudah tak terlihat wujud aslinya. Kondisinya semrawut dan terhalang bangunan-bangunan tambahan. Antara lain kamar mandi, tempat cuci pakaian, hingga kandang ayam. Seng-seng dipasang sebagai pagar dan jendela-jendela bangunan asli, ditambahi kanopi dengan kayu seadanya. Berbagai perabot dan perkakas teronggok begitu saja di teras.
Padahal, dahulu bagian ini menjadi halaman depan untuk keindahan rumah sang raja gula dengan adanya kolam teratai yang selebar gedung utama. Kolam ini sama sekali tak berbekas karena persis di depan bangunan, hingga ke bawah bagian bukit, padat oleh rumah warga.
Kondisi lantai II gedung utama lebih mengenaskan. Setelah menaiki tangga besi di sisi timur rumah, begitu menginjak di lantai atas, ada bumper mobil yang dijadikan penadah air hujan. Ini sudut koridor timur dan selatan. Koridor atau serambi mengelilingi seluruh ruangan. Koridor selatan hanya diisi bangku dan perkakas pertukangan.
Lantai terbuat dari kayu. Konon, dahulu semua lantai kayu di lanta II ini berlapis aluminium sehingga kokoh untuk atap bangunan bawahnya. Kini lantai di koridor utara dilapisi ter sehingga masih kuat. Sedangkan lantai kayu di serambi sisi timur dan selatan sudah lapuk. Alhasil, bagian tersebut tak bisa dilalui. Di serambi timur pun, tampak beberapa bagian lantai kayu yang ambles.
Terkisah, Bambang Wijanarko, 51 tahun, masih duduk di kelas I SD ketika diajak orangtuanya menempati rumah baru. Ketika itu, awal 1970-an, sang bapak, Soekisno, disebut sebagai Ajendam, tanpa tahu kepanjangan dan pangkatnya, di Kodam IV Diponegoro (kini Kodam VII). Rumah baru itu, ya, Gedong Dhuwur ini.
Sang ayah dan rekan-rekannya datang dari kesatuan berbeda. Tanpa surat atau dokumen apa pun, mereka menempati Gedong Dhuwur dan membagi ruang di lantai dasar untuk tempat tinggal. "Tahu sendiri siapa yang berkuasa waktu itu," kata Bambang, yang dipercaya warga menjadi juru bicara asrama.
Alokasi pembagian lantai Gedong Dhuwur juga kurang jelas. Bambang tak tahu mengapa, misalnya, sang ayah mendapat jatah paling luas, yaitu seluruh bagian lantai II. Meski tak tinggal di situ, sehari-hari ia bekerja dengan membuka bengkel dempul di lantai atas Gedong Dhuwur. "Dulu ini kantornya konglomerat Oei Tiong Ham," tutur warga Pasadena, Semarang Timur, itu.
"Waktu itu, Oei bisa melihat langsung kapal-kapal dagangnya datang," katanya bak sejarawan sambil melayangkan pandangan ke arah utara. Sembari menyusuri tiap ruang di lanta II, ia mengingatkan untuk berjalan pelan-pelan. Selain karena kayunya sudah lapuk, juga bisa mengganggu penghuni di lantai dasar.
Pada 1970-an, Bambang mengenang, artefak peninggalanTiong Ham masih tersisa. Pada masa awal tinggal di Gedong Dhuwur, Bambang ingat, terdapat sepasang patung singa di pintu utama di sisi selatan gedung. "Konon, jumlahnya semula ada enam," ujarnya.
Dari cerita-cerita yang beredar, belakangan Bambang tahu, patung singa itu unik. Bukan patung singa ala Tionghoa yang dijumpai di banyak kuburanCina, melainkan singa gaya Eropa. Ada pula yang menyebut patung gaya Yahudi. Ciri figurnya tidak seimajinatif singa Tiongoa, tapi lebih realis dengan surai-surai yang tampak jelas. Toh, kata Bambang, sepasang singa itu raib digondol maling.
Dari sisa-sisa kekayaan Oei, tidak ada yang lebih heboh saat warga menemukan sejumlah guci dan koinkuno di lahan itu. Ada warga yang menemukan jambangan saat hendak membuat fondasi rumah. Isinya koin berbahan tembaga dengan angka tahun 1700-an. "Masih ada lambang dan tulisan V-O-C," kata Bambang seraya mengeja. Karena tak tahu nilainya, warga asal saja menjual Rp 5 per koin saat itu.
Semua peninggalan itu tak berbekas. Menurut Bambang, benda-benda itu tidak diketahui lagi rimbanya. Hilangnya sejumlah bagian bangunan juga karena dipugar sewaktu ditinggali warga. Misalnya, gapura di pintu utama di sisi selatan gedung dibongkar pada akhir 1970-an.
Sekitar 20 tahun silam, beberapa orang Tionghoa dari Belanda dan Singapura yang mengaku kerabat dan karyawan Tiong Ham datang bertandang. Seorang dari mereka yang mengaku stafnya bahkan mengatakan, gedung ini memiliki bungker. "Kalau benar ada, ya, jadi rahasia mereka yang pernah di sini," tutur Bambang.
Kunjungan keluarga dan karyawan Oei itu, bagi Bambang, tak lebih dari sekadar untuk nostalgia. Soalnya, bangunan ini telah ditempati sekitar 40 kepala keluarga. Mereka adalah keturunan tentara atau pendatang yang membeli petak rumah tersebut. Padahal, tak ada catatan resmi satu pun atas kepemilikan bangunan ini. Hingga kini, pemda dan badan yang berwenang untuk cagar budaya tak mengurusi situs ini. "Bangunan ini tak bertuan," ujar Bambang.
Sejauh ini, bukannya tak ada kajian tentang Gedong Dhuwur. Setidaknya, Ndaru Hario Sutaji dari Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro, Semarang, pernah menyusun tesis tentang bangunan itu pada 2005. Riset berjudul "Tata Ruang Gedong Dhuwur di Kawasan Bersejarah Simongan Semarang" tersebut mengungkapkan, berdasarkan arsip dan dokumentasi, kompleks bangunan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu 1909-1965.
Menurut Ndaru, gedung yang awalnya berjuluk "Sarang Garuda" ini memiliki arsitektur Indisch. Langgam bangunan ini lazim dibangun pihak kolonial Belanda. Tapi, berbeda dari umumnya gedung Indisch, tata ruangnya mendapat pengaruh arsitektur Cina dengan perwujudan fengshui pada peletakan unsur-unsur bangunan.
Misalnya, arah hadap bangunan dan pintu utama ke sisi selatan yang dipercaya sebagai sumber kebaikan. Selain itu, juga menghindari angin dingin dari Laut Cina di utara. Posisi Gedong Dhuwur yang menghadap lembah dan lokasi perbukitan berbentuk tapal kuda berkaitan dengan aliran kosmik chi dalam fengshui.
Gedong Dhuwur juga mempertimbangkan keberadaan kompleks situs Kelenteng Sam Po Kong di Gedong Batu. Dari kedua situs ini, masing-masing bangunan terlihat jelas.
Secara keseluruhan, tiap bangunan di kompleks Gedong Dhuwur merupakan kombinasi karakter Indisch, Cina, dan Jawa, dengan memadukan fungsi ruang tertutup dan terbuka. "Sejarah Gedong Dhuwur merupakan kekayaan budaya masa lalu bagi Semarang yang layak dipahami dan diapresiasi. Rancangannya yang konstektual dengan Gedong Batu dan arsitektur pada zamannya merupakan kunci guna mempertahankan kelestariannya," ungkap Ndaru dalam rekomendasi penelitiannya.
Arif Koes Hernawan
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kisah Singkat Si Raja Gula
Oei Tiong Ham lahir pada 19 November 1866. Ia mewarisi bakat usaha dan kekayaan senilai 17,5 juta gulden dari ayahnya, Oei Tjie Sien, pada 1890. Usaha keluarga Oei bernaung di bawah bendera kongsi dagang Kian Gwan. Semula, usahanya berfokus pada karet, kapas, gambir, tapioka, dan kopi. Kemudian, dengan nama Oei Tiong Ham Concern (OTHC), bisnisnya berkembang ke jasa ekspedisi, kayu, properti, hingga opium.
Ketika terjadi krisis gula pada 1880 dan banyak pabrik gula di Jawa Timur yang berutang kepadanya tak mampu membayar, Tiong Ham menguasai pabrik-pabrik gula itu. Transaksi tersebut terjadi karena ia menerapkan kontrak bisnis yang tergolong langka di kalangan pengusaha Cina masa itu. Dengan kontrak itu, ia memiliki kekuatan hukum untuk menguasai aset pihak pengutang yang gagal bayar.
Tiong Ham pun menyandang gelar "raja gula". OTHC tercatat memiliki aneka properti, pabrik, bank, saham, dan armada kapal. Cabang bisnis dan asetnya bukan hanya di Jawa, melainkan juga menyebar hingga Singapura, Bangkok, Hong Kong, Shanghai, London, dan New York.
Di sejumlah kota dunia itu, ia memiliki rumah mewah pribadi. Salah satunya, Tiong Ham membeli bangunan di Beijing bekas istana abad ke-17, dengan ratusan kamar seharga US$ 100.000, plus US$ 150.000 untuk dekorasinya.
Pada awal abad ke-20, laba OTHC mencapai 18 juta gulden dan kekayaan Tiong Ham sampai 200 juta gulden. Ia pun disebut sebagai orang terkaya dan pendiri perusahaan multinasional pertama di Asia Tenggara.
Di luar urusan bisnis, ia punya akses luas ke berbagai pihak. Ia diangkat menjadi pemimpin Tionghoa di Semarang, Mayor de Chineezen, oleh gubernur jenderal Belanda. Atas upaya hukum kepada pihak otoritas kolonial pula, pada 1904, ia menjadi orang Tionghoa pertama di Semarang yang memotong thaocang atau kuncir rambut dan berpakaian jas ala Barat. Ia tak menggunakan jasa bodyguard, tapi membayar para bandit lokal untuk keamanan diri dan keluarganya.
Tiong Ham memiliki seorang istri, Geo Bing Nio, dan 18 selir. Anaknya ada 42 orang, tapi yang paling disayang adalah putri keduanya, Oei Hui Lan. Kalau ingin sesuatu, Hui Lan tinggal mengambilnya dan pemilik toko akan menagih kepada sang ayah. Ia pun menghadiahi putrinya ini rumah dengan 40 kamar tidur dan kolam renang ala Eropa di Singapura.
Sang raja gula meninggal di Singapura, 6 Juni 1924. Meski disebut karena serangan jantung, Hui Lan curiga, ayahnya diracun Lucy Hoo, selir yang menemani hari-hari terakhir Tiong Ham. Pernah dikuburkan di Semarang, makam Tiong Ham dibongkar dan tulangnya diabukan di Singapura pada 1975. Nama Oei Tiong Ham lalu diabadikan sebagai nama jalan di sana.
Sepeninggal Tiong Ham, hartanya dibagikan kepada istri, gundik, dan anak-anaknya. OTHC diambil alih pemerintah melalui keputusan Pengadilan Ekonomi Semarang Nomor 32/1561 EK.S pada 10 Juli 1961 dan diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 5/Kr/K/1963 pada 27 April 1963. OTHC diubah menjadi PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional (PPEN) Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) pada 1964, kemudian menjadi PT RNI pada 2001.
Sebagian besar peninggalan Tiong Ham telah dihancurkan, seperti gudang di Jalan Pedamaran, Kampung Tamtin, Pasar Johar, Semarang. Bangunan ini dirobohkan dua tahun silam. Saat Gatra bertandang ke sana, Senin pekan lalu, tidak ada lagi sisa bangunan lama. Di lokasi padat penduduk, kumuh, dan becek itu telah berdiri petak-petak rumah 3 x 3 meter dengan lebar jalan tak sampai satu meter dan berimpitan dengan bangunan di sebelahnya.
Bangunan yang berusia sekitar satu abad itu dihancurkan karena rusak parah dan membahayakan penghuni. Warga setempat, Paiman, 60 tahun, tak tahu-menahu sejarah, status, atau ahli waris gudang dan lahan tersebut. "Memang tadinya di situ bangunan kuno," katanya.
Arif Koes Hernawan